Blessed Cursed : Vale’s Sacrifice.

People said, there’s a thin line between love and friendship. Guess it’s true. He may found his rainbow now, but Vale will never forget who brought him the sun when he was drowning in rain.


Tuesday, January 25, 2022.

Vale terduduk di sebuah meja yang berada di sudut café tempatnya janjian dengan Genta sambil mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja.

Segelas es kopi yang dingin itu terlihat belum disentuh sama sekali di hadapannya.

Tak seberapa lama kemudian, Genta pun sampai di sana ditandai dengan lonceng pada pintu café yang berbunyi.

Genta mengedarkan pandangannya beberapa saat ke sekelilingnya untuk mencari keberadaan sang kekasih.

Vale mengangkat sebelah tangannya untuk mempermudah Genta menemukan dimana posisinya. Dan saat atensinya menangkap sinyal itu, Genta pun langsung menghampirinya.

“Halo, sayang.” Sapa Alpha tersebut ketika ia sampai di hadapan si Omega.

Genta mencium pipi kiri dan kanan Vale secara bergantian sebagaimana yang biasanya ia lakukan setiap kali ia berjumpa dengan sang pujaan hati.

“Maaf ya, Val, telat. Tadi agak macet pas yang di lampu merah arah kesini.” Genta menjelaskan keterlambatannya pada Vale setelah ia duduk di kursinya walaupun mereka juga tidak ada menyepakati jam saat berbicara di sambungan telefon tadi.

Vale memaksakan seulas senyum, “Iya, nggak papa.”

“Aku pesen dulu boleh, ya?” Izinnya.

Dan Vale pun mengangguk setelahnya, membiarkan pacarnya itu pergi ke konter pemesanan.

Sembari menunggu Genta, Vale menarik gelas berisikan es kopi miliknya dan meminumnya tanpa minat lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jaket yang ia kenakan.

Ia kembali membuka ruang obrolannya dengan Rasya dan membaca satu demi satu pesan yang dikirimkan oleh sahabatnya itu dengan perasaan yang berkecamuk.

Vale buru-buru mematikan layar ponselnya saat dirasa matanya mulai memanas.

Gantian sekarang ia yang mengedarkan pandangannya ke arah jendela besar di sampingnya sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan emosi yang tumpang tindih dalam dirinya sekarang.

Di luar sepengetahuan Vale, Genta yang saat ini berada di meja kasir dan menunggu pesanannya diproses, ternyata memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.

What’s the matter . . .” Hanya satu pertanyaan itu yang terus berputar di kepala Genta sedari Vale mengatakan kalau dirinya sedang tidak baik-baik saja lewat sambungan telepon mereka tadi.

Karena malas bolak-balik, Genta pun memutuskan untuk menunggu saja di kasir sampai pesanannya selesai di buatkan.

Dan setelah menunggu selama beberapa saat, Genta akhirnya kembali menghampiri Vale dengan minumannya di tangan.

Tidak ada kata yang saling tertukar diantara kedua sejoli itu.

Genta tidak bodoh untuk memahami kalau kekasihnya itu sedang tidak baik-baik saja. Dari cara Vale menghindari tatapannya dan lebih memilih untuk terlihat sibuk menikmati dan mengaduk minumannya tanpa minat saja, Genta tau kalau sesuatu mengganggu pikiran omega itu.

Si alpha kemudian berdeham pelan sebelum membuka percakapan, “What is it, sayang?” Tanyanya langsung pada inti.

Di sisi lain, Vale agak terkesiap saat Genta menagihnya tanpa aba-aba.

Harusnya ia lebih tahu kalau kekasihnya itu memang bukanlah tipe orang yang suka berbasa-basi. Apabila Genta sudah memahami ada sesuatu yang tidak beres, ia tidak akan segan untuk langsung kepada intinya saja.

Untuk terakhir kalinya sebelum ia benar-benar mengutarakannya, Vale menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan matanya.

But, the moment he opened his eyes again and his gaze met Genta’s unwavering ones, Vale almost lost at it.

Vale merutuk dalam hatinya untuk itu sekaligus meyakinkan dirinya sekali lagi.

Bisa, Vale . . Bisa. Demi Rasya . . .

“Ta.” Panggil Vale pelan. Tapi, sial, suaranya tercekat.

Hmm?” Genta yang baru saja menghisap minumannya, kini mengarahkan seluruh atensinya pada Vale.

Let’s break up.”

Dan kalimat itu berhasil membuat Genta tersedak karenanya.

What?” Genta menatap nyalang ke arah Vale.

Vale menghela nafasnya pelan, dan mengulang kalimatnya lagi. Kali ini dengan menatap Genta tepat di matanya.

Let’s break up.”

Genta terlihat ingin menanggapi, namun ia seolah tak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Ditandai dengan bibirnya yang seolah sudah siap untuk berbicara, namun pada akhirnya terkatup kembali.

No. You can not be serious about that.” Genta tidak mampu mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari Vale.

Namun, Vale dengan tenangnya kembali menyahut seraya meletakkan cincin dari Genta yang baru saja ia lepas dari jari manis tangan kirinya ke atas meja, tepat di hadapan sang pemberi.

I am. Let’s end everything here, Ta.”

Genta berdecak keras-keras, “Val! Come one . . What’s wrong with you?”

Vale terdiam. Kali ini tidak mudah untuknya langsung memberi respon atas pertanyaan yang Genta layangkan padanya.

I’ve been thinking about us, lately.” Ucap Vale pada akhirnya.

Genta membiarkan omega itu untuk menyelesaikan alasannya terlebih dulu.

And after some thoughts, I no longer want to continue the relationship. I can’t.” Lanjut Vale, memberi sedikit penekanan pada akhir katanya.

Lie.” Balas Genta dengan kedua tangan yang terkepal erat.

Satu kata itu berhasil menohok hati Vale tanpa permisi.

You are lying, aren’t you?” Genta semakin menjadi untuk memprovokasi Vale.

Vale kembali terdiam. Sudah menduga reaksi Genta akan seperti ini. Sekarang, giliran dirinha yang membiarkan Alpha itu mengekspresikan tanggapannya.

You can not do this to me. We are doing fine, Vale! We were doing just fine here! And your sudden request for a break up is . . . just something that doesn’t sit right with me!” Cecar Genta tanpa jeda.

Dalam hatinya, Vale ingin menertawai keadaan setelah mendengar kalimat terakhir Genta.

Memangnya apa yang benar sekarang ini? Semua tentang mereka sedang saling tumpang-tindih. Tidak tahu mana yang harus dibereskan terlebih dahulu.

Answer me, Valkyrie.” Titah Genta, menuntut jawab dari sang kekasih yang tega-teganya menyudahi hubungan mereka secara sepihak itu.

Mendengar nama aslinya keluar dari mulut Genta, Vale memejamkan matanya dan mengatur nafasnya sekali lagi sebelum menjawab Genta dengan mengunci tatapannya.

“Aku gak siap, Genta. You know that.” Kata Vale. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

Sebuah decakan kembali terdengar dari yang lebih tua saat ia paham ke arah mana Vale akan membawa masalah ini, “We already done talking about that. We already past that phase, Vale.”

Yes. We are done talking about that. But the idea of marriage are still terrifying me, Genta. Aku gak bisa.”

Memang, sedari awal mereka menjalin hubungan, Vale sudah terbuka pada Genta mengenai semua tentang dirinya. Termasuk dengan persahabatannya dengan Rasya yang sudah terjalin sedari lama dan juga ketakutannya terhadap sebuah pernikahan serta komitmen yang harus diemban di dalamnya.

Maka dari itu, walaupun Genta dan keluarganya setengah mati membenci keluarga Rasya, Genta tidak bisa melarang Vale untuk memutuskan persahabatannya dengan Rasya.

Karena Vale sudah menekankan, itu adalah batasan untuk Genta yang tidak boleh ia langkahi. Itu bukan ranah Genta.

Dan untuk masalah pernikahan serta komitmen dalam sebuah hubungan, seiring berjalannya waktu Genta memang berhasil untuk membuka pikiran Vale dan memberikannya banyak sudut pandang lain tentang hal tersebut.

Yang mana pada akhirnya usaha itu berhasil membuat Vale sampai bersedia ketika Genta mengikat hubungan mereka dengan cincin tadi sebelum hari dimana mereka akan dipersatukan secara sah nanti datang.

Tapi sekarang, semuanya sudah berbeda.

Vale harus memilih.

Ia tidak bisa bertahan untuk kedua belah pihak dengan kenyataan dirinya mengetahui bahwa semua ini akan berakhir dalam pertempuran sengit antara dua keluarga yang sudah menjadi musuh bebuyutan selama dua dekade terakhir.

Jika ia harus kembali menjadikan luka dan traumanya sebagai alasan agar ia bisa lepas dari Genta, maka biarlah luka dan traumanya yang menjadi caranya untuk tetap menjadi orang berbudi.

I think about this thoroughly. I don't think we are compatible in the long run.” Vale memulai kembali penuturan alasannya.

Why? What did I do wrong?” Tanya Genta.

Vale menggeleng sambil tersenyum tipis, “No. It’s not you. It’s me. Februari besok, kamu wisuda, Ta. Kamu akan mulai urus bisnis ayah kamu. Dan September nanti, aku juga akan nyusul wisuda. Setelahnya, cepat atau lambat, pernikahan itu akan dilangsungkan. That’s what your father told us so. At that time, I didn’t say anything because I don’t think it would be a trouble. But to think about it now, it just doesn’t feel right.”

Genta terdiam.

It made me realized how different we are. Kita berdua itu, kayak lagi berdiri di satu pijakan yang sama tapi langit yang kita lihat itu beda, Ta. Hidup kamu udah diatur dengan sedemikian rupa. Kamu punya target kapan semua itu harus kamu capai. Sementara aku, masih banyak banget hal yang aku mau lakuin. Masih banyak yang mau aku explore.”

“Dan kalau aku terikat sama kamu, itu cuma akan menghambat jalan kita berdua, Ta.” Vale kemudian melanjutkan, “Aku tau kamu nggak akan ngebatasin aku. Aku tau kamu pasti akan support aku. Tapi, buat aku, ketika nanti kita udah terikat, semuanya gak akan pernah sama lagi. Mau gimana pun, batasan itu akan tetap ada untuk aku. Dan aku harus bisa menempatkan diri aku di posisiku nanti. And I don’t think I’m ready for that.”

If that’s the problem, then I can give you time as much as you need. We don’t have to fall apart.” Genta memberikan argumennya.

Vale mendengus pelan, “That’s not it, Genta. Kamu mungkin bisa ngasih aku waktu. Tapi, aku yang nggak bisa, Ta. Aku nggak bisa ngebiarin kamu buang-buang waktu untuk nunggu aku, yang aku sendiri pun nggak tau kapan aku akan berhenti untuk ragu. Aku nggak mau kamu nunggu aku dalam ketidakpastian.”

Vale meraih satu tangan Genta yang terkepal dan mengusapnya pelan sambil melemparkan sebuah senyum getir, “Jadi, aku mohon sama kamu. Kali ini, tolong jangan berusaha untuk ngeyakinin apa-apa lagi ke aku ya, Ta?”

Genta rasanya ingin berteriak kepada Vale. Tapi ia tidak bisa. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa atas permintaan itu. Lidahnya ikut kelu. Untuk memberi respon lagi saja, Genta sudah bingung harus menghentikan Vale dengan cara apa lagi sementara dirinya sudah diminta untuk mencukupkan usahanya sampai disini saja?

Jadi, ketika Vale menarik tangannya menjauh dan mulai berdiri, bersiap untuk meninggalkan cafè tersebut, Genta hanya bisa termangu mematung di tempat duduknya.

Vale menatap Genta untuk terakhir kalinya, “The time we spent together, you never failed to make me the happiest person alive, Ta. And I’m really, really grateful that I’ve got the chance to feel it.”

Ada jeda sebentar disana sebelum kalimat berikutnya terlontar, menghancurkan Genta hingga berkeping.

But, I’m sorry, Genta. I couldn’t fight for us until the end. I just . . . can’t. I’m really sorry.”

Dengan itu, Vale pun melangkah pergi dari sana.

Seiring dengan langkah Vale yang menjauh itu, setitik air mata jatuh membasahi pipi Genta.

Dan juga pipi Vale.

Namun dengan cepat Vale menghapus air matanya dengan lengan baju panjang yang ia kenakan.

No matter how much Vale loves Genta, he will not betray Rasya and his family—people he have known for years—after everything they have done to him only for someone he barely know in in the span of two years.


130622, cc.