Blessed Cursed : The Decision.
Terlambat. Karena sekarang sudah bukan perkara siap atau tidak siap lagi. Mereka terlanjur diikat oleh benang darah. They only have two options, and that’s the problem.
Wednesday : January 19, 2022. ⠀⠀⠀⠀
Dua jam sudah pasca Deenan pergi pamit untuk mencari udara segar dan menjernihkan pikirannya, disinilah Rasya sekarang.
Terduduk di lantai toilet kamar mandinya sambil memuntahkan udara kosong karena rasa mual yang mendera.
Ia merasa mual luar biasa. Namun, setiap kali ia mencoba untuk memuntahkannya, tidak ada apapun yang keluar.
Dan rasanya tidak enak sama sekali. ⠀⠀⠀⠀
Ting! Tong! ⠀⠀⠀⠀
Rasya mengangkat wajahnya yang berantakan saat mendengar seseorang menekan bel pintu apartemennya.
Dalam hati kecilnya berharap itu Deenan.
Ia pun kemudian bangun dari posisinya, dan membasuh mulutnya di wastafel sebelum berjalan keluar dari dalam toilet untuk membukakan pintu tersebut.
Seluruh bukti medis tentang kehamilannya, sudah ia sembunyikan di kamar setelah Deenan pergi tadi.
Was-was kalau tiba-tiba ada orang lain yang datang, jelas bisa gawat.
Habislah riwayatnya.
Ketika Rasya melihat kalau yang ternyata adalah Deenan dari monitor yang ada di lorong menuju pintu, ia menghela nafas lega. ⠀⠀⠀⠀
Ceklek. ⠀⠀⠀⠀
Disana, berdiri Deenan yang menatap Rasya dengan perasaan bersalahnya.
Entah kenapa, selama beberapa saat kedua sejoli itu terdiam di tempat mereka dan saling memandang satu sama lain.
“You look . . . messy.” Komentar Rasya spontan begitu selesai menginspeksi Deenan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Deenan mendengus seolah mengejek dirinya sendiri, “Yeah, both of us.”
Rasya kemudian menyingkir dari hadapan pintu untuk mempersilahkan Deenan masuk.
Dan saat itu, Deenan menyadari kalau bagian atas kaos yang digunakan Rasya terlihat basah oleh air.
Deenan ingin bertanya, tapi rasanya sulit.
Memangnya, pertanyaan apa yang sekarang pantas ia lontarkan kepada Rasya?
Are you okay, Sya?
Deenan merutuk dalam hatinya.
Haha, jokes on you, Deenan.
Neither of you and Rasya is okay at this rate.
“Duduk, Nan.” Ajak Rasya saat sudah sampai di ruang tamu apartemennya dan mendapati Deenan hanya berdiri mematung disana.
Namun Deenan tak menggubrisnya.
Ia malah menatap Rasya dan memanggilnya dengan nada pelan dan dalam, “Sya.”
“Yaa?” Sahut Rasya, balas menatap Deenan leket-lekat dengan kedua mata bulatnya itu.
Masih dengan menatap Rasya, Deenan menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan dengan kedua tangan terkepal seolah sedang menguatkan dirinya sendiri, lalu berkata lirih, “I don’t think I’m ready for this.”
Rasya terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Namun ia sudah menduga kalau Deenan akan mengatakan hal ini sekembalinya ia kemari.
Ketakutan dan putus asa itu terpancar jelas dari kedua mata Deenan.
“I’m sorry, Rasya . . But that’s my honest feeling for this whole situation.” Lanjut Deenan, pahit.
Rasya mencoba tersenyum pada Deenan, “It’s okay. I understand that. We are pretty much feeling the same way right now.”
Perasaan bersalah Deenan semakin menjadi-jadi ketika ia melihat bagaimana Rasya masih bisa tersenyum kepadanya, padahal di antara mereka berdua, Rasya lah orang yang paling hancur.
“I’m not ready, yes. And so do you.” Lanjut Deenan buru-buru, tidak ingin Rasya salah paham. “But, we are not talking about that here. That’s too late to think about being ready or not.”
“So, whatever you choose, I’ll support you.” Deenan menyerahkan semuanya kembali pada Rasya.
Rasya kemudian menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya pada sofa yang sedang ia duduki, “Deenan, sini.”
Kali ini, Deenan menuruti Rasya.
Rasya kemudian mulai berbicara dari sisinya, “Nan, look.”
Deenan menaruh seluruh atensinya pada Rasya.
“The main reason why I’m letting you know about this, is because you told me so. You told me to tell you if anything happens. And it’s happening now . .” Ucap Rasya.
Mahasiswa kedokteran itu pun langsung melanjutkan, “And aside from that, it’s because I want you to share your thoughts about this with me. Karena ini darah daging lo juga. Lo punya hak atas anak ini.”
“Jadi, tolong jangan cuma terserah gue aja, ya?” Pinta Rasya sambil mengulaskan senyum lemah, “Kita pikirin sama-sama sekarang.”
Deenan mengangguk setuju, paham maksud dari omongan Rasya itu apa.
Rasya kemudian melanjutkan ucapannya, “Honestly, I don’t really expecting you to take responsibility or such because I know that you already have your own life. I—”
“Hold on, hold on.” Potong Deenan cepat dengan kening yang berkerut, “What do you mean? Just like what you have said earlier. It’s . . . mine, too. And of course, I will take full responsibility for my actions.”
“Gue, bilang nggak siap itu bukan karena gue nggak mau tanggung jawab, Rasya.” Tegasnya sambil menatap Rasya dalam-dalam.
Rasya tersenyum mengerti, “I know. I know you will. But there’s so much more other things that you have to consider before you take your resposibility, Deenan. That’s why I didn’t expect much from you.”
Ah, Deenan paham maksud Rasya sekarang.
Dengan segenap nyali yang ia punya, Deenan meraih telapak tangan kanan Rasya dan menggenggamnya erat-erat.
“Sya . .” Panggilnya pelan.
Rasya menolehkan wajahnya dan bertemu tatap dengan Deenan untuk satu kali lagi.
“This won’t be easy for both of us. And I know it would become so much harder for you.” Kata Deenan, “But, when I said I will take my resposibility, I really do.”
“Apapun yang keputusan yang mau lo ambil, gue akan dukung. Bukannya gue mau menitikberatkan ke elo. Tapi, menurut gue memang semuanya akan kembali ke elo lagi.”
Deenan kemudian mengusap lengan Rasya pelan, “Ini, badan lo, Sya. Lo yang punya kuasa atas tubuh ini. Dan anak itu, ada di dalam tubuh lo. Kalau lo mau pertahanin dia, ayo, gue akan terus temenin lo untuk besarin dia, belajar didik dia, dan kasih dia semua sayang yang kita punya.”
“And if you choose the other way, I will still respect it. Lo berhak untuk merasa terbebani karena gue yakin, ini semua jauh—bahkan terlalu jauh dari goals yang udah lo susun.”
Rasya mendengus pelan, “Jauh, Nan. Jauuuuh banget. Malah, kalau boleh jujur, gue nggak pernah melihat diri gue akan jadi orangtua, at least sampai sepuluh tahun ke depan.” Katanya, pahit.
Deenan memasang telinganya, siap untuk mendengarkan bagaimana Rasya ingin menyikapi semua ini.
“Sebenernya, mau dipertahanin ataupun digugurin, both of them have consequences.” Rasya mulai mengutarakan pendapatnya.
“First option, keeping this baby. Honestly speaking, if we choose this option when we both know we are not yet ready for the commitment, is too risky. Don’t you think so?” Tanyanya, mengajak Deenan untuk berpikir jauh.
Deenan mengangguk setuju, “There’s a huge possibilty that we’re gonna be failed at raising them because we are not ready yet to be parents.”
“That’s right.” Rasya sepakat.
Rasya memalingkan wajahnya dari Deenan dan tertawa hambar.
“But I was born and grew up in a family that most of them are doctors and any other medical workforces. In which, saving lives as much as they could is part of their first and foremost duty. And me, myself too, is also part of future doctors.”
Tangan Rasya terangkat untuk memegang perutnya, “And getting rid of this little innocent human being purposely just because we are not yet ready, would be so selfish on our part, especially me.” Ada kesedihan yang tersirat dari cara bicara Rasya.
Setelahnya, Rasya kembali menolehkan wajahnya lagi kepada Deenan yang masih menatapnya lekat-lekat. “The baby deserves to be born, Deenan. And they came with the right to have a life and to be loved.”
“Dan kalau kita ngikutin nalar terus untuk ambil keputusan ini, nggak akan ada kesudahannya nggak sih, Nan?” Tanya Rasya yang sudah tidak bisa lari kemana-mana karena keadaan menjepitnya.
“Bijak nggak kalau kita pakai nurani kita sekarang?” Lagi, Rasya bertanya pada Deenan.
Deenan mengangguk paham sambil mengelus punggung tangan Rasya yang digenggamnya menggunakan ibu jari, “Okay.“
Sedikit banyak Deenan sudah bisa menebak apa keputusan Rasya.
Dan Deenan bersedia untuk menghargainya.
“What we did was a mistake. We have already committed a sin. We can’t make it go even worst by getting rid of the baby. Kita yang salah, bukan anaknya. Kalau dia yang harus berkorban disini karena kesalahan kita, kita egois.” Ucap Rasya.
“You are right,” Sahut Deenan tercekat, merasa tertohok dengan kalimat Rasya.
Rasya tatap kedua mata teduh milik Deenan dengan sejuta harap disana sebelum ia berkata, “Jadi, boleh ya, Deenan? Anaknya gue lahirin?”
Setitik air mata jatuh menetes di pipi Rasya tanpa seizinnya ketika kalimat itu terlontar.
Pada detik itu, Deenan bisa melihat bagaimana Rasya lebih dari siap untuk mempertaruhkan seluruh hal yang ia punya dalam hidupnya demi anaknya.
Dan dengan itu pula, Deenan seperti mendapat suntikan keberanian untuk menghadapi segala resiko yang mungkin saja terjadi di kemudian hari.
“Boleh, Rasya.” Jawab Deenan memberikan izinnya.
“Gue temenin, ya? Boleh, kan?” Giliran Deenan yang meminta izin.
“Are you sure?” Rasya mencoba memastikan. Kemudian melanjutkan, “I know you have Keelan. Lo mau ngomong apa sama dia nanti, hm?”
Deenan terdiam saat mendengar nama Keelan disebut dalam pertanyaan itu.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Rasya, Deenan membalasnya dengan pertanyaan lain.
“Would you give me a try?”
Rasya tertawa pelan, “Of course. You are the other father. Why wouldn’t I? I would appreciate it so much if you want to take part while I’m having the baby.”
“Then, we are clear for today. Okay?” Tandas Deenan, tak ingin membahas tentang Keelan sekarang.
Biarkan ia pusing memikirkannya besok.
Untuk sekarang, cukup tentang dirinya dan Rasya terlebih dahulu.
Rasya pun mengangguk paham, “Okay.”
“Come here,” Deenan merentang tangannya sebagai isyarat menyambut Rasya ke dalam peluknya.
Dan dengan senang hati Rasya menghambur ke dalam dekapan Deenan, memanja saraf olfaktorinya dengan feromon milik alpha tersebut.
And somehow it works on lessen his nausea feelings.
“Thank you for not running away from me, Deenan.” Ucap Rasya setelah beberapa saat berada dalam peluk hangat itu.
“As I should,” Sahut Deenan sambil mengusap-usap punggung Rasya.
Kemudian ia berbisik pelan dengan penuh sesal, “And I’m sorry, for putting you into the situation that you have to deal now, Rasya.”
Rasya terima permintaan maaf tersebut dengan sebuah anggukan pelan.
Dengan Deenan tidak lari dari tanggung jawabnya saja, itu sudah cukup untuk Rasya.
It’s enough. At least, for today.
Tomorrow? It’s a whole another story. ⠀⠀⠀⠀
230122, cc.