Blessed Cursed : Ill-fated Serendipity.

The memory has been lingering on his head for as long as he can remember. A memory of help and comfort from someone who he failed to tell his gratitude before because he was too scared. Funny how there’s a tell-tale, the best thing happens unexpectedly. But, that’s clearly not for his tale.


Tuesday, January 25, 2022. ⠀⠀⠀⠀

Setelah selesai makan malam bersama, akhirnya Deenan memutuskan untuk langsung pergi ke bandara saja menunggu waktu penerbangan mereka setelah bertanya apa ada tempat yang ingin Rasya tuju dan dijawab tidak ada.

I think that’s our ride, Sya.” Kata Deenan memberi tahu saat ia melihat sebuah mobil masuk dan hendak menghampiri mereka di depan lobby.

Dan setelah memastikan bahwa itu adalah kendaraan mereka, Deenan mempersilahkan Rasya masuk terlebih dahulu sebelum kemudian ia menyusul selanjutnya.

Kondisi jalan yang mereka lintasi saat ini terlihat padat merayap.

Deenan langsung menoleh ke sampingnya, niatnya ingin berbasa-basi memecah keheningan.

Namun ia mendapati Rasya menopang tangannya di jendela dan menumpukan dagunya di atas tangan sambil melempar pandangannya ke arah luar, memerhatikan gemerlap lampu malam yang menghias di sepanjang jalan.

Rasanya, Deenan mulai terbiasa dengan Rasya yang cenderung memilih untuk diam ketimbang mengobrol jika tidak diberi inisiatif terlebih dahulu.

“Hey,” Deenan tetap pada niatnya untuk membuka percakapan.

Mendengar itu, Rasya pun menoleh kepadanya.

“Capek, ya? Sini senderan sama aku kalau capek.” Tawar Deenan.

Rasya hanya melempar senyum kecil pada Deenan sambil menggeleng pelan, “Thanks, but I’m fine.” Tolaknya halus lalu kembali menatap ke luar jendela.

Karena penasaran dengan apa yang diperhatikan oleh Rasya, Deenan pun memberanikan diri untuk bertanya.

Enjoying the view much?” Tanya Deenan

Rasya kembali menoleh pada Deenan dan mendengus kecil, “I always like the city lights at night.” Jawabnya.

Kemudian Rasya melirik sekali lagi ke arah luar jendela, “And the cable cars up there kinda getting my attention.”

Sebelah alis Deenan terangkat. Tubuhnya secara refleks bergerak mendekat dan condong ke arah Rasya untuk melihat apa yang ia sebutkan.

Deenan mengangguk-angguk dan kembali ke posisinya, “Is that perhaps means anything to you?” Tanyanya sambil menatap Rasya.

No,” Rasya menggelengkan kepalanya, “It’s just me having a war of flashback.”

Flashback?” Deenan mengulangi perkataan Rasya.

Rasya mengangguk, “Actually, during semester break last year, I had a trip with my family. We came here.”

Ah, I see.” Timpal Deenan sekenanya.

Dalam hatinya, ia merasa prihatin karena pasti berat bagi Rasya datang kemari lagi dalam keadaan yang berbeda seratus delapan puluh derajat setelah kunjungan terakhirnya itu.

How was the trip?” Entah kenapa pertanyaan ini tiba-tiba terlontar dari mulut Deenan.

Dan Rasya juga tampak seperti tidak menduga pertanyaan tersebut karena selama beberapa detik ia hanya menatap Deenan dalam diam.

Deenan tertawa pelan untuk mencairkan suasana, “I bet you were having a good time.”

Sebuah senyum penuh arti terukir di wajah Rasya, “Yes. We were.”

It was a three days and two nights trip. It’s been a while since we had a family trip due to my parents off-schedule that almost never matched.”

“Daddy rent an open roof Jeep for us. We went to the universal studio right after we touched down. We had so much fun. I made Daddy wear the animals hat. Of course, it took me to fake a sulk, something that Daddy couldn’t resist and couldn’t say no. And I also managed to drag him to the nearest photobox and doing the silly pose along with me, Papi and Rafa.” Rasya tertawa kecil mengenangnya. Ia ingat photobox tersebut hampir roboh karena ulah mereka sekeluarga yang rusuh bukan main.

And after that, we went to eat dinner at Newton Food Center. We really ate a lot there, like there’s no tomorrow. The next day, Daddy brought us to go shopping. Papi bought me and Rafa a matching white crocs with all those cute jibbitz. And Rafa said he will save it for his co-ass life later. After done shopping, Daddy surprised us with a 4-course dinner aboard the cable car.”

It was a little bit dramatic because Papi always has this difficulties to dealing with heights,” Lanjut Rasya.

But at the end of day, it was really meaningful for our family.” Tandasnya.

Tanpa sadar, Deenan ikut tersenyum penuh arti seraya Rasya memperdengarkan ceritanya.

Ada rasa hangat tersendiri dalam hati Deenan yang tidak bisa ia jelaskan tiap kali Rasya berbagi sedikit demi sedikit kisah tentang waktu yang ia habiskan dengan keluarganya kepada dirinya.

Deenan menatap Rasya dalam-dalam, “It must be feels so great ya, Sya? Being loved by your parents?”

Rasya terdiam dengan pandangan yang terkunci. Ia tidak berani menanggapi ucapan Deenan karena ia takut salah-salah kata.

I can feel the warmness of your parents just by hearing your story about them. It’s like, I was there with them. Like, they were here with me.” Ungkap Deenan.

Rasya hanya bisa meresponnya dengan senyum kecil.

Dan tiba-tiba saja, Rasya dibuat membisu oleh ucapan yang selanjutnya terlontar dari mulut Deenan.

I don’t really have much memories with my parents.”

There’s a hint of sadness with the way Deenan said his words.

It’s too loud and too clear in Rasya’s ears.

But I do have some with my nannies back then when I was still a child.” Giliran Deenan yang mengenang masa-masa dulu.

Really?” Rasya balas merespon, sekedar untuk memberi isyarat pada Deenan jika ia ingin bercerita, Rasya akan dengan senang hati mendengarkannya sebagaimana ceritanya didengar.

Deenan mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Rasya sebelum ia tiba-tiba teringat sebuah kejadian di masa lampau.

And speaking of cable cars, I also have one memorable story about it.”

Deenan menatap Rasya lagi, “Do you mind?”

Rasya menggeleng, “Go on. I’m all ears.”

Long time ago, I think I was ten years old at that time. I went on vacation to Switzerland with both of my parents and my nannies during winter. It was my first time seeing and playing with snow.” Deenan memulai ceritanya.

Rasya membungkam mulutnya, membiarkan Deenan untuk menyelesaikan ceritanya.

“Judulnya mungkin family trip, ya. But I spent most of times with the nannies as long as I can remember. I didn’t even know what was my dad and my mom doing at that time.”

It’s not that I protested, though. I used to love spending my time with the nannies. Because through them, aku jadi nggak bener-bener buta sama rasa sayang dan waktu yang seharusnya dikasih sama orangtua ke anaknya. Even though it will never be the same, but that’s enough.”

Dalam benaknya, Rasya tidak bisa membayangkan apabila dirinya berada di posisi Deenan.

Entah Deenan sudah benar-benar berdamai dengan rasa kecewanya atau ia hanya sekedar menutupinya saja saat ini.

Rasya juga tidak tahu apa alasan dibalik kurangnya perhatian dan waktu yang diterima Deenan dari kedua orangtuanya.

But that must be really hurting and confusing for him as a child.

Ingin rasanya ia meraih tangan Deenan dan mengusapnya sebagai gestur memberi kekuatan tapi sungkan itu masih terlalu besar untuknya.

Mungkin untuk saat ini yang bisa Rasya lakukan sesuai porsinya adalah memasang telinga sebaik-baiknya untuk Deenan.

“Kejadiannya di hari terakhir kita disana. Papa brought us to have the highest cable car experience across the glacier of Alps. He reserved a whole gondola for our family. If I’m not wrong, it was a 8-seats gondola. Enough for me, my mom, my dad and my two nannies. Before the gondola ride, nggak ada yang aneh atau apapun. We waited for our turn peacefully while getting our photos taken. Everything were just fine,” Deenan menjeda kalimatnya.

Until it wasn’t?” Celetuk Rasya tiba-tiba, asal.

Deenan mengangguk, “Until it wasn’t.” Ulangnya membenarkan celetukan Rasya

Rasya bisa melihat tatapan Deenan yang mulai jauh mengawang.

When it was finally our turn to hop on into the gondola, suddenly there was this little kid around my age being tagged along with us by the staff.”

“‘It was a little too late for us to react because the door was already closed. Papa sama mamaku jelas panik bukan main, karena—” Deenan tertawa geli mengingat kejadian tersebut, “Ini anak siapa, astaga . . Kok bisa tiba-tiba dimasukkin ke gondola yang yang udah di-reserve sama papaku?”

I still remember it vividly. That little kid were wearing a light cornflower blue parka with white long-sleeve, grey beanie with two little cute pom-poms, also white jeans and white boots. It was really contrast with his rosy-cheeks. Lucu banget karena pipinya gembul.” Deenan mendengus geli.

“Papa dan mamaku coba untuk ajak anak itu ngobrol dan tanya siapa namanya. Tapi, anak itu nggak mau buka suaranya. He was crying. His tears were rolling down in silent because he probably frightened that he was surrounded by strangers.”

Deenan yang masih sibuk mengenang pengalamannya itu tidak menyadari kalau Rasya yang duduk disampingnya kini sudah termangu seolah jiwa dan raganya terpisah.

It took 20 minutes ride until we arrived at the transit station before hop on the next cable car to reach the summit.”

Trockener Steg.” Sambung Rasya secara tiba-tiba.

Deenan menoleh ke arah Rasya, “What?”

The transit station named Trockener Steg.” Ulang Rasya lebih jelas.

Kening Deenan mengerut, “You knew?”

I’ve been there too. It’s Matterhorn Glacier Paradise cable car from Zermatt. Highest gondola in the Alps.” Jawab Rasya santai.

Deenan jelas tidak menduganya, “I don’t even remember which gondola ride that I took. How do you know?” Tanyanya.

Ada hening sesaat disana sebelum kemudian Rasya membuka mulutnya kembali.

Because you said the highest cable car. And that’s it, Klein Matterhorn is the highest cable car in Switzerland.”

Deenan menatap Rasya, “Aah, is that so?”

Rasya mengangguk, tanpa sadar menghindari tatapan Deenan.

Namun ia tak ambil pusing dan kembali melanjutkan ceritanya, “Begitu sampai disana, Papa dan mamaku langsung lapor ke pihak gondola kalau ada kemungkinan anak hilang. That little kid was waiting for further information with me and my nannies.”

I tried to play with him. But he was still scared, eyes were swollen and wet with tears. I saw his hands were trembling hard because it was so cold. He didn’t wear hand-mittens. Thus, I gave him mine, along with a handkerchief so he could use it for wiping his tears off. And in order to cheer him up, I gave him a mini plush doll that my mom bought in pair for me the day before. I gave him the grey ones and kept the white ones with me. I said that everything will be fine and he will meet his parents in no time using that doll. After I told him that, he tried to stop his cry and accepted the things I gave.”

“Dan nggak lama setelahnya, Papa sama Mamaku balik ke tempatku nunggu dengan beberapa staf disana. Anak itu diserahkan ke mereka untuk diamankan sementara orangtuanya lagi on the way ke stasiun transit itu.”

“Papa bilang, we couldn’t stay longer until his parents come because we have flight to catch in the afternoon, and we were already running late from the estimated time that we could spent in there. So, we bid him a goodbye and left. I looked at him again for the last time as I walked away and waved my hand at him, he just stood there looking back at me while holding onto the plush tightly. And that’s it.”

Deenan menghela nafasnya seiring dengan cerita yang telah usai tersebut.

Ia kembali menoleh ke arah Rasya sambil tersenyum kecil, “Dan sampai hari ini, aku masih suka wondering how’s that little kid now.”

Rasya balas menatap Deenan.

What do you think?” Deenan malah melemparkan pertanyaan padanya.

Dan seperti sebelumnya, tetap ada hening yang hadir disana sampai Rasya memberi jawabannya.

He’s fine. Or maybe not at all,” Rasya berdehem pelan saat suaranya terdengar serak di telinganya sendiri.

Namun dengan cepat ia memamerkan senyum tipisnya, “But, at least, he could reunited with his family. Right?”

Deenan mengangguk setuju, “Yeah, you’re right.”

Dan tanpa terasa, ternyata pada saat yang sama, mereka telah sampai di pelataran bandara.

Deenan menjadi yang pertama menyadarinya, “Oh, we’re already here.”

Baru kemudian Rasya ikut celingukan menatap sekelilingnya.

Mereka berdua pun turun dari mobil tersebut setelah Deenan menyelesaikan transaksi.

Rasya menghindar sesaat sebelum Deenan bisa meraih telapak tangannya untuk dituntun dengan cara berjalan mendahului Deenan.

Saat mereka tiba di counter untuk check-in, Deenan menghentikan Rasya.

“Sya, I need to go to the restroom and grab some coffee. Can you wait for me?” Ujar Deenan.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Rasya hanya mengangguk sebagai persetujuan.

Dan kali ini, Rasya tidak sempat menghindar saat Deenan mengecup singkat pipinya sambil memberi elusan pelan disana dengan ibu jari sesaat sebelum ia berlalu.

Rasya mematung pada posisinya seiring punggung Deenan yang perlahan menjauh.

Dan setitik air mata jatuh dari bendungannya di kelopak mata Rasya membasahi pipinya yang tertutup oleh masker saat Rasya menundukan kepala untuk mengalihkan pandangannya.

Kedua tangan Rasya terkepal di sisi tubuh setelah ia menyeka kasar air matanya.

Moon Goddess . . . Why?


Mereka tiba di apartemen Rasya saat waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

Deenan menutup pintu apartemen Rasya sementara sang pemilik sudah berjalan lebih dulu di depannya setelah mengganti alas kakinya dengan sandal yang ada di sana.

Rasya menunggu Deenan di ruang tengah.

“Kenapa, Sya?” Tanya Deenan setelah ia menghampiri si rambut putih.

Rasya tersenyum kecil sambil menggeleng, “Nothing.”

Kemudian ia melepaskan cincin yang melingkar di jari manisnya dan menatap Deenan dengan tatapan sendunya yang teduh itu.

Ia raih telapak tangan si Alpha dan menyerahkan cincin itu kembali, “Thank you for today, yaa.”

Deenan mengernyitkan keningnya, “Kok dilepas, Sya?”

“Iya,” Sahut Rasya. “Cincinnya biar dipegang sama elo aja, yaa.” Jawab Rasya sambil mengulaskan sebuah senyum tipis.

Dan tanpa menunggu respon dari Deenan, Rasya langsung berpamitan menuju kamarnya di lantai atas. “Good night, Deenan.”

Good night, Rasya. Rest well.” Sahut Deenan sambil memperhatikan punggung Rasya yang semakin menjauh dari jarak pandangnya.

Setelah Rasya menghilang dari balik tangga, Deenan memendarkan tatapannya pada cincin yang berada dalam genggamannya.

Dan tanpa ingin mengambil pusing, ia pun masuk ke kamar tamu di apartemen Rasya yang selama beberapa hari terakhir ini ia tempati untuk segera mengistirahatkan tubuhnya.

Sementara itu, Rasya yang sedang menaiki tangga, menghentikan langkahnya tepat saat kakinya berpijak pada lantai dua apartemennya itu.

Ia menghela nafasnya pelan dengan kedua mata terpejam dan juga kedua tangan yang mengepal.

Lalu, setelahnya ia melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam kamarnya.

Rasya meletakkan totebag yang tersangkil di bahu kirinya ke atas kasur dan kemudian ia melangkah menuju meja belajarnya.

Ia duduk di kursi yang ada di sana dan tangannya perlahan bergerak untuk membuka sebuah laci yang ada pada meja tersebut.

Sebuah senyum getir terpatri menghias di wajah yang lelah itu tatkala laci itu terbuka.

Dan Rasya pun membawa tangannya mengambil sesuatu dari dalam laci tersebut.

Sebuah sapu tangan berwarna putih bordiran yang membentuk kepala anak anjing dengan benang berwarna biru langit serta sebuah boneka bewarna abu-abu yang berukuran tidak lebih dari satu jengkal tangannya.

Masih terekam jelas dalam benak Rasya kalimat yang diucapkan dengan suara konyol menyertakan boneka tersebut hingga akhirnya bisa sampai ke tangannya.

Hey, I am Mr. Deen-deen! I will be your new friend and keep you company until your parents come so you no need to be afraid! Please, don’t cry again because everything will be okay! You can use my hankie to wipe your tears.

Tanpa terasa, pandangan Rasya mulai mengabur karena tertutup genangan kristal bening yang entah sejak kapan menggenang di pelupuk matanya.

Ia tertawa pahit seraya ibu jarinya bergerak mengelus pipi boneka tersebut.

Hey, it’s me, Mr. Deen-deen. Finally. I found you.” Bisiknya parau pada dirinya sendiri.

Jari-jemari Rasya perlahan meremat boneka dan saputangan tersebut.

Sesak itu mulai memenuhi rongga dada Rasya.

Ia benamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja.

Years of longing and searching, going back and forth to the same place in Switzerland every year and at the same exact time during winter in order to find his knight in shining armor only to wake up naked ten years later under the same blanket and tied with blood thread.

How could this be more complicated than it is already?

Dan malam itu, Rasya menangisi bagaimana runyamnya takdir sampai tenaganya habis terkuras dan alam mimpi menyambutnya dalam lelap.


cc, 130822.