Blessed Cursed : Further Plans.

Just like the oil in the water, sooner or later, it will rise. Everyone will figure out the truth. They can’t walk forever on this road of lies. Rasya understands that. But if telling the truth means his Daddy and his Papi will turning their back on him, just this time, Rasya decided he wants to be a selfish person.


Saturday : January 22, 2022. ⠀⠀⠀⠀

Setelah menyelesaikan makanan mereka, Deenan beranjak untuk membersihkan alat-alat makan yang mereka gunakan dan membawanya ke tempat pencucian piring untuk mencucinya.

Sementara Rasya pergi ke depan untuk mengambil pizza dan juga salad dari layanan pesan antar yang sudah sempat Rasya pesan beberapa saat lalu.

Deenan memang mengajukan diri untuk membereskan dapur serta meja makan dan menyuruh Rasya untuk menunggunya di depan TV saja.

Tidak mungkin juga Rasya yang ia suruh mencuci piring. Berdiri saja ia masih terlihat gemetaran. Jadi daripada Deenan jantungan lagi, biar saja ia yang mengerjakan semuanya.

Setelah meja makan dan dapur apartemen Rasya bersih, Deenan pun berjalan ke arah sofa ruang tengah untuk menghampiri Rasya.

Ia memutuskan untuk membicarakan apa yang ia bahas dengan Jenar tadi kepada Rasya sekarang saja.

“Sya.” Deenan melirik Rasya yang sedang mengunyah potongan pizzanya dengan takut-takut.

Tanpa repot-repot menatap lawan bicaranya, Rasya merespon, “Apa?” Kedua matanya terfokus pada layar iPad di atas pangkuannya dimana saat ini materi kuliahnya terpampang.

“Gue mau ngomong.” Kata Deenan, berusaha untuk mendapatkan atensi Rasya sepenuhnya sebelum ia memulai percakapan ini.

Tetapi sepertinya Rasya belum menyadari keseriusan dari cara Deenan berbicara karena ia malah dengan santainya berkata, “Go on. I’m all ears.”

After we got back from the medical check-up,” Deenan sengaja menjeda kalimatnya untuk memeriksa reaksi Rasya sebentar.

Dan ketika Rasya tetap fokus menulis di atas layar iPadnya, Deenan pun melanjutkan langsung ke intinya, “Could you please bring me to see your parents?”

Pergerakan Rasya langsung terhenti setelah kalimat itu masuk ke gendang telinganya.

Deenan bisa melihat perubahan raut wajah Rasya dengan kedua rahangnya yang kini menegang dan bahunya menegap.

What are you up to?” Pertanyaan Rasya terdengar dingin.

Dingin sekali.

Berbanding jauh terbalik dengan Rasya yang beberapa saat lalu mengobrol dengan Deenan di meja makan tadi.

I think the faster we tell them about our situation, the better for us all.” Deenan mencoba mengutarakan pendapatnya. Dan bertanya, “Don’t you think so?”

Rasya meremat pensil pintar dalam genggamannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih.

No.” Balas Rasya. Suaranya terdengar tercekat, “I don’t think so.”

Why . . .” Deenan ingin mendengar perspektif Rasya.

Rasya terdiam.

Seriously?

Did Deenan just ask him why?

Rasya tertawa miris dalam hatinya.

Rasya himself is not even fully accepting the truth about his well-being now.

Then, how the fuck he supposed to tell his parents about this little human being that is growing inside his tummy!?

Deenan must be kidding him.

“Terlalu cepet, Nan. Gue belum siap.” Rasya mencoba beralasan.

Dengan sabar, Deenan pun mulai berusaha untuk meyakinkan Rasya.

Yes, I do understand that. I’m feeling the same.” Langkah pertama, ia memvalidasi apa yang dirasakan oleh Rasya. Karena ia tahu betul bagaimana perasaan itu.

“Tapi, Sya, kalau kita bicara tentang siap atau nggak siap, I don’t think we will ever be ready for that conversation with our parents . . .” Jelas Deenan pelan-pelan.

Rasya memilih untuk bungkam, membiarkan Deenan mengutarakan apa-apa saja yang ingin ia katakan padanya tentang masalah ini.

Let’s take a closer look at some possibilities that might happen if we choose to keep stalling the time.”

Deenan meraih satu tangan Rasya dan menggenggamnya erat, “Semakin lama kita sembunyi, rasa kecewa daddy sama papi lo akan semakin besar ketika nanti pada akhirnya mereka tau kalau anak yang selama ini selalu mereka banggain ini ternyata udah dirusak sama orang kayak gue, Sya . .”

“Belum lagi, sahabat-sahabat gue, terus Vale, Rafa . . . Lo kebayang nggak . . Akan serunyam apa keadaannya kalau kita dengan sengaja terus-terusan ada kebohongan ini cuma karena kita berdua lebih milih sembunyi dan terus jadi pengecut daripada maju ngehadapin semuanya?” Tanya Deenan sambil menatap Rasya dengan tatapan kalah.

Namun, Rasya masih belum mau untuk melihat ke arah Deenan.

“Belum lagi, Keelan . . .” Nafas Deenan memberat saat nama itu terlontar dari mulutnya.

Dan pada saat itulah, Rasya mengangkat wajahnya dan mengunci tatapan mereka.

Dengan itu, Deenan pun langsung melanjutkan, “I can’t keep being like this. Having a constant worry over you and the baby while I couldn’t do much because of the responsibility that I have towards my fiancé.”

It’s really frustrating me because I know you need to be taken care of. You should not be alone at your current state.”

Genggaman Deenan mengerat pada tangan Rasya, “I have to keep my eyes on you. I have to make sure you eat your food. I have to make sure you have enough rest. I have to make sure with my own eyes that you are doing just fine, Rasya.”

Rasya belum bersuara sama sekali. Ia hanya diam menatap Deenan dalam diam.

“Gimana pun reaksi mereka nanti setelah kita ngomong, itu urusan belakangan, Sya . . . Ada gue. Gue yang akan ngelindungin elo.” Deenan mencoba meyakinkan Rasya lagi, “Yang penting kita jujur dulu . . . Ya?”

Setitik air mata jatuh membasahi pipi Rasya tanpa permisi setelah mendengar bujukan Deenan.

Ingin rasanya Rasya memercayai semua kata-kata Deenan.

Tapi bagaimana ia bisa percaya kalau reaksi Vale saja bisa sampai seperti itu kemarin ketika ia tahu kebenarannya, apalagi daddy dan papinya?

Bukan.

Rasya bukan tidak siap akan kemungkinan kena tampar oleh daddy dan papinya atau kemungkinan tidak diakui sebagai anak lagi oleh keduanya.

Bahkan kemungkinan caci-maki yang akan ia terima jika semuanya terbongkar sampai ke telinga umum sekalipun.

Rasya tidak takut akan semua itu.

Karena Rasya tahu, ia pantas mendapatkan itu nantinya.

Tapi, alasan utama yang membuat Rasya sangat berat untuk jujur adalah karena ia tidak siap dengan raut kehancuran yang akan ia ciptakan di kedua milik dua orang yang amat sangat ia sayangi dan ia hormati itu.

Melihat sebagaimana kecewanya Vale saja, dunia Rasya rasanya seperti runtuh.

Bagaimana dengan daddy dan papinya?

Dunianya akan hancur berkeping-keping.

Rasya hanya tidak siap dengan kenyataan ia akan menyakiti hati orang tuanya dan membuat mereka kecewa serta benci padanya.

Pada dirinya, anak yang selama ini selalu mereka banggakan di depan mata umum. Anak yang selama ini mereka rawat sebaik mungkin, anak yang telah mereka didik dengan moral, anak yang mereka kasihi dan mereka cintai dengan sebegitunya.

And after everything his Daddy and his papi have done to him, all Rasya did to repay them is being a disgrace to their family.

Astaga, hanya dengan membayangkan wajah kedua orang tuanya saja hati Rasya saat ini seperti sedang ditimpa oleh batu besar.

Ingin rasanya Rasya menangis keras-keras. Namun, ia tidak ingin membuat Deenan merasa bahwa apa yang telah ia sampaikan tadi itu salah.

Rasya kemudian menyeka jejak air matanya dan mengangkat wajahnya kembali dengan senyum kecil yang ia paksakan.

I didn’t say I won’t tell them,” Koreksinya tetap berusaha untuk terlihat tegar, “I just said it’s too soon to have that conversation, Deenan.”

Deenan tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang.

Melihat Rasya sampai menangis setelah mendengar bujukannya saja membuat ia sadar kalau Rasya setakut itu menjadi alasan kecewa dari kedua orangtuanya.

Sementara itu, di sisi lain, alasan lain Rasya masih ingin menjadi pengecut seperti kata Deenan tadi adalah anak ini.

Kandungannya masih terlalu lemah untuk menghadapi tekanan lain yang baru.

Kemarin pasca Vale mengamuk padanya saja, perutnya langsung kram sejadi-jadinya.

Rasya tidak ingin kalau anaknya sampai kenapa-kenapa di dalam sana.

Setidaknya kalau ia harus berhadapan dengan keluarganya, keluarga Deenan dan keluarga Keelan, ia harus yakin kalau dirinya kuat dan mampu dulu untuk berada dalam kondisi emosi yang kemungkinan besar akan menjadi beban mentalnya itu.

Nah, kalau sekarang? Ia saja masih sangat bergantung pada Deenan dan feromonnya untuk meredakan mual dan segala keanehan lain pada tubuhnya di trimester pertama ini.

“Boleh nggak sih, Nan, kalau kita tunggu sampai beberapa minggu kedepan?” Rasya meminta izin pada Deenan, “Gue mau tenang dulu . . . Mau stabil dulu . . .”

Suara Rasya terdengar parau di telinganya sendiri.

“Boleh, ya?” Lagi, Rasya meminta persetujuan dari Deenan.

Deenan sendiri jadi tidak tega melihat tatapan mata Rasya padanya.

Semasuk akal-masuk akalnya saran Jenar, Deenan tetap tidak bisa memungkiri kalau memang ada baiknya.

Setuju, mereka harus secepatnya jujur atas keadaan mereka sekarang kepada orangtua masing-masing, terlebih orang tua Rasya.

Tapi, kalau cuma sekedar memburu-buru saja tanpa memikirkan keadaan fisik dan mental mereka, ya percuma saja.

Yang ada, dirinya dan Rasya setelah menghadap orangtua mereka, bukannya membantu menyelesaikan masalah malah memperburuk keadaan karena kehilangan akal sehat mereka setelah gegabah tanpa memikirkan kondisi mental mereka lebih jauh.

Akhirnya, Deenan pun mengangguk dan menarik Rasya ke dalam pelukannya, “Okay. Let’s stay like this for awhile now.”

Rasya pun melemah pada sentuhan tersebut. Ia membiarkan Deenan memeluknya dan juga mengusap-usap kepalanya dengan lembut sambil menahan tangisnya dalam hati.

I’m so sorry for doing this, Daddy . . Papi . . But I want this baby to be born happy, healthy and nothing less as they deserve. I’m sorry. I love you.


060322, cc.