Blessed Cursed : Face To Face.
Never have Rasya ever thought his first sober talk with Deenan would be about a life-time commitment that’s currently growing inside his tummy.
Wednesday : January 19, 2022. ⠀⠀⠀⠀
Ting!
Saat pintu lift terbuka, Rasya bisa langsung melihat Deenan yang bersandar di samping pintu apartemennya dengan masker hitam menutupi wajahnya, sedang menunggu kedatangannya.
Deenan menoleh ketika ia merasakan kehadiran Rasya disana.
“Hey,” Sapanya pelan pada si tuan rumah saat sampai di depan pintu unit apartemen tersebut.
Dari balik maskernya, Rasya bisa melihat Deenan tersenyum padanya.
Jadi, Rasya pun membalasnya, “Hey.”
“Udah lama nunggu, ya?” Tanya Rasya sambil meletakkan ibu jarinya pada daun pintu smart lock tersebut untuk bisa masuk ke dalam.
Deenan tertawa kikuk, “Lumayan, sih.”
Click.
Pintu terbuka dan Rasya membukanya lebar-lebar untuk mempersilahkan Deenan masuk.
“Sorry, ya . . Tadi flightnya agak delay soalnya . .” Ungkap Rasya.
Deenan yang sudah masuk duluan ke dalam apartemen pun mengernyitkan dahinya sambil membuka masker yang ia kenakan, “Flight?” Tanyanya seolah memastikan ia tak salah dengar.
Rasya mengangguk, “Iya.”
Deenan tidak bertanya lebih jauh lagi walaupun ia penasaran dan memilih untuk melepaskan sepatunya saja.
Rasya yang sudah selesai lebih dulu, berjalan menuju kitchen island apartemennya.
Ia letakkan dua gelas minuman berisikan iced coffee dan iced peach tea yang ia bawa di atas countertop kitchen islandnya serta map kecil yang ia bawa di sudut meja, dekat dengan sebuah kotak yang sudah ia persiapkan sedari pagi dan sengaja ia letakkan disana.
“Would you like some coffee?” Tanya Rasya pada Deenan yang sedang berjalan menuju ke arahnya.
Oh, shit.
Rasya hampir terhuyung saat ia mengangkat wajahnya dan langsung disambut feromon milik Deenan yang menyengat.
Tadi ia belum terlalu sadar dengan indra pembaunya.
Namun kali ini . . . astaga.
Pemuda itu terlihat sudah membuka jaketnya dan hanya menyisakan kaos hitam oblong saja di tubuhnya dengan celana jeans berwarna navy blue.
Dan kemudian Deenan duduk di atas kitchen stool pada in-eat countertop dapur apartemen Rasya.
“Here,” Rasya menyodorkan gelas berisikan es kopi pada Deenan.
Deenan mengulaskan senyum tipis, “Thank you, Sya.”
Merasa pusing karena mencium feromon milik Deenan, Rasya pun mencoba untuk mendistraksi dirinya dengan berjalan ke arah kulkas.
“Have you eaten your lunch?” Tanyanya lagi pada Deenan sambil mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam kulkasnya, sebisa mungkin mencairkan suasana terlebih dahulu sebelum ia mengutarakan apa yang ingin ia bicarakan pada pemuda itu.
“Belum, sih . .” Jawaban Deenan terdengar ragu-ragu, “Tapi, gak usah repot-repot lah, Sya. Nanti gue bisa makan di luar.” Sambungnya, sungkan.
“That’s okay. I haven’t had my lunch, too. Sekalian aja.” Sahut Rasya.
Sekalian ngulur waktu juga, soalnya nyali gue hilang-timbul terus.
“Okay, if you insist.” Kalah Deenan akhirnya.
“Do you mind with salmon rice?” Rasya menoleh untuk meminta persetujuan.
Deenan mengangguk, “Of course not. I’m fine with anything.” Jawabnya sambil tersenyum.
Rasya merasa perutnya seperti bergejolak melihat senyum itu.
This is the first time he saw Deenan since that morning.
And Deenan doesn’t make it easier for him.
Seraya menunggu Rasya membuat menu makan siang mereka yang terlambat, Deenan berusaha untuk mengalihkan pikirannya dari praduga-praduga yang berkelebatan di benaknya tentang apa yang mau Rasya bicarakan dengannya dengan memainkan ponselnya.
Tapi nyatanya tidak membantu apapun.
Tidak sampai setengah jam, Rasya sudah selesai dengan masakan yang ia buat.
Grilled salmon yang kemudian dihancurkan dengan nasi panas lalu diaduk rata, diberi mayonnaise, kecap asin jepang serta saus sambal lalu diaduk hingga tercampur rata.
“Seadanya ya, Nan?” Kata Rasya sambil menyodorkan satu mangkuk nasi salmon tersebut ke hadapan Deenan beserta dengan rumput laut kering, “Gue nggak tau sih bakalan enak apa nggak, tapi semoga decent enough buat lidah sama perut lo, ya . .”
Deenan mendengus geli, “Thank you, ya. Udah mau repot-repot bikinin.”
“You are welcome,” Balas Rasya sambil mengambil sumpitnya sendiri dan mulai menyantap makanannya.
“Enak kok, Sya . .” Puji Deenan setelah habis satu suapan.
Rasya tertawa pelan, “Yaudah, makan deh yang banyak.” Katanya dengan nada bercanda.
Mereka menyantap makan siang terlambat mereka dengan tenang.
Sesekali ada obrolan yang terucap disela-selanya.
Entah tentang event kampus yang akan diselenggarakan dekat-dekat ini, perkembangan berita dunia yang sedang ramai-ramainya dibicarakan, atau sekedar bertanya mengenai kehidupan kampus mereka yang bisa dibilang berbeda kesibukannya.
Usai makan, Deenan menawarkan diri untuk mencuci piring kotor bekas mereka pakai.
Dan Rasya pun mempersilahkannya.
Setelah itu, Deenan pun bertanya pada Rasya.
“Lo bilang mau ada yang diomongin sama gue, Sya?” Ia menoleh kepada Rasya sembari mengeringkan tangannya.
Rasya mengangguk, “Lo kalau mau minum air putih, ambil di kulkas aja, yaa.”
Deenan menurut dan membuka kulkas untuk mengambil satu botol air mineral dari sana.
“Mau ngomong apa, hm?” Tanya Deenan seraya berjalan untuk kembali duduk di hadapan Rasya.
Setelah Deenan duduk dan menenggak air mineralnya, tangan Rasya bergerak menarik map serta kotak kecil yang berada di sudut countertop tadi.
Rasya mengeluarkan sebuah amplop putih dari map tersebut dan menggesernya ke hadapan Deenan.
Deenan langsung menahan nafasnya ketika melihat lambar serta nama sebuah rumah sakit terpampang di permukaan amplop tersebut.
Dengan segenap nyali yang sudah ia kumpulkan, Rasya menatap Deenan dalam-dalam.
“That morning, you said that I can always tell you if anything happened, right?” Tanyanya, memastikan.
Ada sedikit ketakutan terdengar disana.
Takut kalau ternyata pada saat mengatakan hal tersebut, Deenan masih dalam keadaan setengah sadar akibat berada di bawah pengaruh alkohol.
Deenan berdehem pelan sebelum menjawab dengan tegas, “You heard me clear, Rasya.”
“What is it?” Tanya Deenan setelah Rasya hanya diam menggantungnya dengan sejuta tanda tanya besar di kepala.
Rasya memaksakan seulas senyum tipis dan berkata, “Liat sendiri, ya?”
Kedua bahu Deenan langsung refleks menegang. Ia tarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Dengan perasaan was-was yang menyelebunginya, Deenan memberanikan diri untuk mengambil amplop tersebut dan membaca isinya.
Baru sampai di bagian kop surat saja, Deenan rasanya sudah bisa mengetahui keseluruhan isi surat tersebut. ⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀Report Status: ⠀⠀⠀⠀Final
⠀⠀⠀⠀Patient Name: ⠀⠀⠀⠀Nadindrayasa, Rassyafarel ⠀⠀⠀⠀Galva
⠀⠀⠀⠀Age: ⠀⠀⠀⠀20
⠀⠀⠀⠀Test Ordered: ⠀⠀⠀⠀Beta Human Chorionic ⠀⠀⠀⠀Gonadotropin (BhCG)
⠀⠀⠀⠀Collected: ⠀⠀⠀⠀01/19/2022
⠀⠀⠀⠀Received: ⠀⠀⠀⠀01/19/2022
⠀⠀⠀⠀Reported: ⠀⠀⠀⠀01/19/2022 ⠀⠀⠀⠀
Kedua manik mata Deenan mulai membaca baris selanjutnya yang tertera disana. ⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀ Test : B-hCG, Quantitative
⠀⠀⠀⠀ Result : 10,236.45
⠀⠀⠀⠀ Ref. Range : mIU/mL ⠀⠀⠀⠀
Dan saat Deenan membaca indeks approximate hCG range untuk mengetahui approximate gestational age yang sesuai dengan hasil test Rasya, sekujur tubuhnya langsung lemas sejadi-jadinya.
“Is this . . .” Deenan kehilangan kata-katanya, namun ia mengangkat wajahnya untuk menatapa Rasya, “For real, Sya?”
Rasya yang dari tadi dengan sabar menunggu Deenan selesai membaca hasil labnya, jujur saja, sudah pasrah melihat reaksi pertama yang dikeluarkan oleh Deenan seperti ini.
Ia memberikan sebuah anggukan pelan, “Here. I took bunch of sticks to test it yesterday. And I decided to go to hospital to make sure everything. And there’s a photo inside the envelope, too. You may see them.” Rasya memberi tahu Deenan.
Dengan tangan gemetaran, Deenan memeriksa amplop yang dipegangnya dan menarik secarik kertas berisikan foto ultrasonografi dari sana.
There is it.
An apple seed sized little thing is there.
Gejolak perasaan aneh yang tak pernah Deenan rasakan sebelumnya mulai muncul menjalari dirinya seiring dengan jarinya yang bergerak mengelus permukaan gambar tersebut.
Seluruh emosinya tercampur aduk dan saling tumpang tindih.
Setelah memandangi foto USG tersebut, Deenan pun mengangkat wajahnya untuk menatap Rasya sekali lagi.
“May I excuse myself to go out for a walk?” Ia meminta izin pada Rasya, “I want to get a hold of myself first before I say anything further.”
Bersalah, panik, takut, bingung, semua terpancar jelas dari kedua mata Deenan.
Rasya mengerti bagaimana perasaan Deenan saat ini.
And he won’t blame Deenan for reacting that way.
Dengan seulas senyum tipis, Rasya pun memberi izinnya lewat sebuah anggukan, “Sure. Take your time.”
Deenan membalas senyum itu dengan susah payah sebelum akhirnya bangun dari posisinya.
Ia lepaskan jam tangannya dan meletakkannya di hadapan Rasya, beserta dengan dompet dan kunci mobilnya.
Ingin memberi kepastian pada Rasya kalau dirinya bukan hendak melarikan diri, melainkan hanya butuh waktu untuk memprosesnya sebelum ia bisa mengambil keputusan.
“I’ll be back, okay?” Pamit Deenan.
Dan setelah Rasya mengangguk, ia pun mengambil jaket dan maskernya kembali dan bergegas pergi meninggalkan apartemen tersebut.
Oh my God . . . It’s an instant death sentence for me.
200122, cc.