Blessed Cursed : Dilemma.

Quality time has always been Deenan’s first and foremost love language. He likes to spend time with his loved ones. And ever since he got into relationship, Keelan and his family has always been the substitute for his parents absence. But today, for the first time, everything feels so wrong.


Sunday : January 23, 2022. ⠀⠀⠀⠀

Deenan sudah mengitari mall dengan Keelan selama satu jam terakhir sembari menunggu kabar dari keluarga sang kekasih tentang restoran mana yang akan dipilih untuk menjadi tempat makan siang mereka hari ini.

“Sayang . .” Panggil Keelan sambil bergelayut manja di lengan Deenan.

Hmm?” Gumam Deenan pelan menyahuti panggilan dari tunangannya tersebut.

“Kamu kenapa?” Tanya Keelan, sedih. “Daritadi aku liat-liat kamu banyak bengongnya, deh. Kamu sakit, ya?”

Belum sempat Deenan menjawab, Keelan langsung menghentikan langkahnya dan memeriksa temperatur tubuh orang yang dicintainya itu untuk memastikan dengan cara memegang menempelkan punggung tangannya di kening Deenan lalu menangkup kedua pipinya.

“Feromon kamu juga nih dari kemarin-kemarin kayaknya kenceng banget deh, Nan, aromanya . . Are you sure it’s not your pre-rut doing?” Selidik Keelan.

Deenan menggeleng sambil tersenyum lemah dan mengambil tangan Keelan untuk digenggam, “Aku nggak sakit, Keelan. Bukan juga lagi pre-rut. Emang cuma lagi capek aja . .”

Keelan langsung memangkas habis jarak mereka untuk memeluk Deenan, “Haduh, sayang . . . Kamu tuh, pasti nggak tidur-tidur, ya? Kenapa ih nggak tidur-tidur mulu . . . Sekarang emang nggak sakit, tapi besok-besok gimana kalau kurang tidur terus?”

Deenan memejamkan matanya dan diam-diam menarik nafas dalam lalu menghembuskannya secara perlahan dengan berat sebelum ia membawa tangannya untuk menepuk-nepuk punggung belakang Keelan. Namun ia tidak menyahuti ucapan kekasihnya itu.

“Kamu disuruh ngerjain apa sih sama Papa di kantor?” Tanya Keelan lagi setelah ia melepas pelukannya pada Deenan, “Nanti aku telfon Papa deh. Bilang supaya jangan jahat-jahat ngasih kerjaannya ke kamu.”

Mendengar itu, setitik air mata Deenan luruh tanpa permisi.

“Deenan!” Keelan yang panik melihat tunangannya tiba-tiba menangis, ya langsung buru-buru memeluknya lagi, “Deenan . . . Kenapa? Kok nangis . .”

Keelan akhirnya menyeret Deenan untuk menepi karena tadi posisi mereka masih di tengah jalan yang dilalui oleh banyak pengunjung lain mall tersebut.

“Ya ampun, sayang . . Maafin aku, ya?” Keelan yang tidak tahu menahu perihal apa yang dilakukan sang pujaan hati di belakangnya pun malah merasa menyesal sekarang.

“Maafin aku . . Kamu pasti tadi capek banget, dan ada urusan yang belum selesai juga lagi. . . Tapi aku malah ngambek segala tadi. Maaf, sayang . . .”

Bukannya membaik, Deenan malah semakin merasa dirinya seperti seorang bajingan gila sekarang.

Dia yang berbuat salah, malah Keelan yang meminta maaf seperti ini.

I’m sorry, Keelan. I betrayed you. But I can’t bring myself to speak the truth.

It’s okay. You did nothing wrong. Don’t be sorry.” Sahut Deenan cepat, tidak ingin Keelan menganggap dirinya sendiri bersalah.

“Kita pulang aja, ya? Biar kamu bisa istirahat yang bener?” Ajak Keelan karena merasa kondisi Deenan agaknya tidak memungkinkan jika harus menghabiskan waktu untuk makan siang bersama dengan keluarganya.

Tapi, Deenan menggeleng.

“Jangan.” Katanya, “Ayah sama Papi kamu udah nunggu, kan? Gak papa, lanjut aja ayo.”

“Beneran?” Keelan memastikan.

Deenan mengangguk untuk meyakinkan.

“Yaudah, kalau gitu. Biar aku telfon bang Genta dulu, ya? Buat tanya udah dapat tempatnya atau belum.”

“Iya, boleh.” Deenan setuju.

Dan setelah Keelan menelfon Genta untuk memastikan apa reservasi tempat untuk agenda makan siang bersama mereka sudah bisa didatangi atau belum, Keelan dan Deenan bisa langsung datang saja ke sebuah restoran Jepang yang memang sudah familiar untuk mereka dan mengatakan kalau kedua orangtuanya juga sudah dalam perjalanan kesana.

Akhirnya, Keelan pun menuntun Deenan untuk menuju restoran tersebut.

Saat mereka sampai di restoran dan diantar ke meja yang telah direservasi oleh Genta, ternyata kedua orangtua mereka sudah berada disana.

“Ayah! Papi!” Seru Keelan sambil menghambur untuk memeluk kedua orangtuanya.

“Halooo, sayang.” Dewa dan Mika mencium pipi anak bungsu mereka itu secara bergantian.

Setelahnya, Deenan juga langsung bersalaman dengan calon mertuanya itu.

“Bang Genta sama Luca mana, Pi?” Tanya Keelan bingung.

“Abang katanya tadi lagi lihat-lihat sepatu sama kak Vale, baru mau payment. Kalau Luca, papi nggak tahu nih, sayang. Tadi tiba-tiba ngilang gitu aja dia . . .” Jawab Mika sambil celingukan melihat ke sekeliling restoran untuk mencari keberadaan dari sulung si kembar itu.

“Ooh,” Keelan pun kemudian mengajak Deenan untuk ambil posisi duduk mereka.

It’s been a while since I saw you, Deenan.” Kata Dewa pada Deenan setelah anak dan calon menantunya itu duduk, “How are you? You good, son?”

Deenan mengangguk pelan sambil diperhatikan oleh Keelan.

“Papa sama Mama apa kabar, sayang?” Giliran Mika yang bertanya mengenai kabar calon besannya itu.

“Baik juga, Pi.” Sahut Deenan, “Mama semalam baru terbang ke Paris, kayaknya ada fashion week disana. Kalau Papa . . . as usual aja, sih, kayaknya.”

Oh, right. I saw her instagram post this morning, I think the picture was taken before the flight.” Timpal banker tersebut.

Deenan pikir, basa-basi calon mertuanya hanya sampai disana saja.

Tapi nyatanya, tidak. Percakapan mereka malah berlanjut dan dengan topik pembicaraan yang tak terduga-duga.

I heard that your Papa just accepted a huge project from The Galvents.”

Deenan refleks menahan nafasnya tatkala ia mendengar nama keluarga Rasya diseret ke dalam obrolan mereka.

Is it true?” Selidik Dewa.

Mendengar pertanyaan tersebut, Deenan tidak langsung menjawabnya.

Mika yang menyadari kalau tunangan anaknya itu tampak mencari-cara jawaban untuk pertanyaan suaminya pun menengahi, “Deenan mungkin belum tau, sayang. Kamu nih, ah. Kebiasaan deh, kalau ngasih pertanyaan selalu yang bikin mikir . . .”

Seulas senyum kikuk Deenan paksakan di wajahnya, “Maaf, aku kurang tau. Papa memang sempat ada omongan, sih, kalau ada rencana kerjasama bareng sama The Galvents. Cuma untuk kelanjutannya gimana, Papa belum ada cerita lagi, Ayah.”

Aah, I see . .” Sahut Dewa, tidak begitu puas dengan jawaban yang ia terima dari Deenan.

Sebelum obrolan mereka berlanjut, tiba-tiba Luca datang dengan membawa sebuah tentengan di tangannya, sebuah paper bag berlogokan brand video game kenamaan asal Jepang.

“Hai, Ayah. Hai, Papi.” Sapa Luca dengan entengnya.

Dewa dan Mika menoleh ke arah anak mereka tersebut.

“Kamu dari mana?” Tanya Keelan penasaran.

“Kepoooo.” Sahut Luca asal-asalan, sengaja meledek sang saudara kembar.

“Rese banget, deh . . . Aku kan cuma tanya!” Belum apa-apa, Keelan sudah kesal sendiri dibuatnya.

“Aku juga cuma jawab, kok!” Balas Luca, semakin jahil.

Keelan langsung mengadu pada sang ayah, “Ih, Ayaaaah! Liat tuh Luca!”

“Luca . . .” Alih-alih Dewa, Mika lah yang menegur putranya itu.

Luca memamerkan cengiran lebarnya sambil mengangkat dua jarinya, “Peace out, Papi.”

“Adeknya tanya itu lho, bang, belum kamu jawab.” Kata Dewa kepada jagoannya itu.

“Iya, iya . .” Kalah Luca, “Habis jajan. Beli ini, nih.” Jawabnya sambil mengeluarkan beberapa video game yang baru saja ia beli.

“Idih, jajan game terus. Tapi dimainin juga nggak tuh pasti ditumpuk aja di kamar nanti . .” Cibir Keelan.

“Sirik deh!? Kamu pacaran terus sama Deenan aku gak ada protes-protes perasaan!?” Debat Luca tak mau kalah.

Keelan langsung melotot tak terima, “Enak aja! Mana ada aku pacaran terus sama Deenan, ih fitnah banget!”

“Hey, aduh. Udah, udah. Ayah sentil nih dua-duanya kalau nggak mau ada yang diem . . .” Lerai Dewa pada kedua buah hatinya tersebut.

Tapi, apalah arti kakak-beradik kalau tidak saling bertengkar dan berdebat tentang hal-hal yang tidak penting, kan?

Sebelum Luca dan Keelan bisa kembali melanjutkan adu mulut dan perdebatan mereka, Genta datang bersama dengan Vale.

“Eh, eh, eh . . . Berisiiiiik, malu tahu kedengeran sampai keluar.” Tegur Genta kepada dua adiknya itu, bercanda.

“Lebaaaaay.” Sahut Keelan dan Luca hampir secara bersamaan.

“Nggak di rumah, nggak disini, berantem terus. Lama-lama abang adu juga nih di lapangan, ya!?” Ancam Genta main-main sambil mencengkram puncak kepala Luca bak mesin pencapit mainan.

“Abang, ah elah! Jangan pegang-pegang rambut gua!” Amuk Luca kesal karena ulah sang kakak.

Genta tertawa pelan kemudian beralih pada kedua orangtuanya.

“Maaf, Yah, Pi, aku sama Vale lama. Tadi keasikan yang diliat akhirnya bukan sepatu doang.” Ujarnya.

“Lagu lama kamu mah, Bang . . .” Sahut Mika, sudah hafal dengan kelakuan sulung suaminya itu.

Vale pun tak lupa menyapa kedua orangtua kekasihnya itu dengan sopan, “Ayah . . Papi . .”

“Eh, halo, sayang!” Mika menanggapi sapaan Vale padanya dengan antusias, “Ayo duduk, duduk.”

Dengan merangkul pinggang Vale, Genta pun membawa Vale untuk duduk di sampingnya, terapit di antaranya dan sang ayah. Luca duduk di bagian paling ujung, di sebelah kanan Genta. Sementara Mika, Keelan dan Deenan duduk satu deret di bagian dalam meja panjang itu dengan Keelan berada di tengah.

“Kak Valeeee!” Sapa Keelan yang duduk berhadapan dengan Vale dengan senyum khas miliknya.

Vale mengangkat wajahnya dan membalas sapaan calon adik iparnya itu dengan seulas senyum tipis.

Namun senyum itu langsung sirna saat matanya menyadari keberadaan Deenan disana.

Deenan juga sibuk sendiri, jadi ia tidak menyadari sorot mata dari atensi Vale yang sempat terarah padanya.

Vale buru-buru memendarkan pandangannya ke arah lain, tidak ingin hatinya sesak hanya karena melihat wajah Deenan.

Dan makan siang mereka pun dimulai.

Keelan dan keluarganya saling bertukar obrolan ringan. Seperti misalnya bagaimana kehidupan kampus Keelan dan Luca akhir-akhir ini, kepanitiaan apa yang sedang diikuti oleh Keelan, keluhan Luca tentang waktu tidurnya yang kacau seiring dengan tugasnya yang semakin membabi buta, lalu perkembangan Genta yang akan wisuda di pertengahan bulan depan, bahkan sampai masalah bisnis juga dibahas disana.

Tapi selama itu pula, raga dan pikiran Deenan seolah tidak menyatu.

Raganya memang ada disini, duduk bersama Keelan di tengah-tengah keluarga kekasihnya itu. Namun pikiran Deenan sibuk melanglang buana dan kembali tertuju pada satu orang yang ia tinggal di luar sana.

Rasya.

Deenan tidak sanggup melawan perasaan was-wasnya karena Rasya sendirian saat ini di apartemennya.

Rasya udah makan apa belum, ya? Astaga . . . Tadi gue nggak sempat buatin makanan untuk dia pula sebelum pergi karena buru-buru. . .

“ . . . Nan?”

Deenan?”

Huh?” Deenan tersadar dari lamunannya saat Keelan menepuk pelan lengannya.

Dan ketika sudah kembali pada akal sehatnya, Deenan menyadari kalau pandangan semua orang yang duduk di meja itu mengarah kepadanya.

“Si anjir lagi makan malah bengong dia . .” Ucap Genta menatap sahabat sekaligus kekasih sang adik bungsu dengan terheran-heran, “Mikirin apaan sih lo? Serius amat kayaknya itu bengong.”

Vale yang sadar kalau dirinya ikut menatap Deenan, langsung berpura-pura sibuk memasukkan lembaran-lembaran daging di hadapannya ke dalam kuah yang mendidih disana dan lalu meletakkannya di mangkuk Genta untuk menghindar dan menulikan pendengarannya.

Lain Vale, lain pula dengan Luca.

Anak itu malah menatap Deenan lekat-lekat setelah mendengar Genta melayangkan pertanyaan padanya.

Begitu pula dengan Dewa yang melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan oleh Luca.

Deenan tersenyum kikuk sambil meminta maaf, “Sorry, sorry. I probably lost my mind.”

“Deenan lagi banyak pikiran, yaa?” Tanya Mika seolah bisa membaca gerak-gerik Deenan yang memang terasa aneh sekali.

Karena memang tidak biasanya Deenan begini. Tidak fokus dan terkesan terpaksa berada di sana.

Keelan buru-buru menjawab untuk Deenan, “Bandel dia, Pi. Begadang mulu gara-gara ngantor. Kurang tidur jadi begini deh, nih.” Adunya.

Dewa tertawa pelan, “Belum apa-apa, Nan. Kamu nanti yang pimpin Desjardins Group, lho . .”

Deenan tertawa hambar, “Hahaha, iya. Belum apa-apa tapi udah hampir gila sekarang.” Curhatnya, walaupun konteks yang ia maksud dan yang diterima oleh mereka semua itu berbeda.

“Lagian elu, sih, sinting juga kalau gue pikir-pikir. Udah tau ujung-ujungnya bakal megang itu perusahaan, kenapa juga lo ngambil international relations . .” Komentar Genta.

“Lah, jadi lo yang ngatur, bang. Suka-suka bang Deenan, lah.” Luca menimpali ucapan Genta sambil melanjutkan makannya.

It’s okay, Deenan. I was once a medical student, too. Tapi, lihat. Ujung-ujungnya juga bukan di meja operasi, kan?” Kata Dewa seolah ingin menenangkan Deenan. Lalu terdengar sebuah dengusan kecil yang sarat akan dendam disana.

Mika yang menyadari maksud dari ucapan sang Alpha, langsung buru-buru mengalihkan topik pembicaraan sebelum suasana hangat ini berubah menjadi suram.

Dan sampai makan siang berakhir, Deenan tetap sibuk dengan perasaan was-wasnya karena takut Rasya kenapa-kenapa lagi.

Rasya, tunggu sebentar, ya . . . Gue akan langsung pulang setelah ini. Please, be okay . . .


140322, cc.