Blessed Cursed : Deenan & Jenar.

Sulit. If he came to think about it, that’s not fair. Hidupnya sebelum ini, baik-baik saja. Lalu keadaan menjadikannya sebagai manusia paling brengsek sedunia. And betrayal is betrayal. Sooner or later, everyone will find out about this. It’s too cruel for Keelan, yes, agreed. But holding on a lie? It will only caused more damage.


graphic depiction of violence, mentions of blood.


Thursday : January 20, 2022. ⠀⠀⠀⠀

Ceklek.

Deenan menutup pintu apartemennya sebelum akhirnya melepas sepatu yang dikenakannya dan menggantinya dengan sandal rumah.

Ia melangkah masuk melewati lorong yang akan membawanya sampai ke ruang tengah hunian tersebut.

Disana, sudah ada Jenar yang menunggunya di sofa depan TV.

Barely two seconds in, and you are already look like you want me dead.” Kata Deenan pelan sambil melempar kunci mobil dan juga dompetnya ke atas meja.

I am.” Sahut Jenar ketus dengan lirikan tajamnya yang memicing ke arah sahabat baiknya itu.

Deenan tertawa hambar lalu beranjak ke arah kulkasnya di dapur untuk mengambil sekaleng bir dari sana.

“Bolos kemana lo hari ini?” Tembak Jenar langsung pada intinya.

Alih-alih menjawab pertanyaan itu dan ikut duduk di sofa, Deenan malah melengos pergi begitu saja ke kamarnya yang memang tidak memiliki pembatas dengan ruang tengah maupun dapurnya.

Jenar masih berusaha sabar melihat kelakuan sahabatnya tersebut.

Ia pun bangkit dari posisinya dan mengekor di belakang Deenan yang kink terlihat sedang berkutat di dalam walk-in closetnya.

“Jawab gue, monyet.” Tuntut Jenar sadis sambil bersandar di pintu masuk walk-in closet Deenan dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Deenan pun mengabulkannya seraya menarik sebuah hoodie miliknya dari dalam kloset, “I visited him. He was having a hard time dealing with the nausea, so I came to his apartment.”

Kedua mata Jenar memicing ke arah Deenan, “Who is he?”

Mendengar pertanyaan itu, Deenan yang hendak membaui hoodie tersebut dengan feromon miliknya pun mematung selama beberapa saat.

Namun dalam hitungan detik ia kembali melanjutkan apa yang hendak dilakukannya tadi dan berlagak seolah tak mendengar pertanyaan tersebut.

Jenar masih diam memerhatikan Deenan yang sudah mulai menciumi hoodie di tangannya tersebut untuk menandainya dengan baunya, menunggu sampai pertanyaannya dijawab oleh sang sahabat.

Tetapi sepertinya Deenan tak mengindahkan pertanyaan itu, dan seolah membiarkan hening yang menjadi jawaban untuk Jenar.

Jenar pun menegakkan tubuhnya, “Who is he, Deenan?” Ia mengulang pertanyaannya sekali lagi.

Deenan kembali menghentikan apa yang sedang dilakukannya kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum menghelanya dengan berat.

Rasya.” Cicit Deenan pelan namun masih cukup untuk didengar oleh Jenar.

Cepat atau lambat, semuanya pasti akan ketahuan mau sebaik apapun ia menyembunyikannya.

Karena ia sudah terlanjur membagi rahasia ini dengan Jenar, Deenan rasa menyebutkan siapa dia yang sesungguhnya, tidak ada salahnya.

Jenar mengernyitkan dahinya mendengar nama tersebut.

“Rasya?” Ulangnya memastikan.

Deenan mengangguk.

Kedua obsidian milik Jenar mulai membulat, “Rassyafarel, Nan?”

Lagi, Deenan mengangguk sambil melipat hoodie di tangannya sebelum kemudian dimasukkan ke dalapn sebuah paper bag dengan sebuah logo brand kenamaan tertera di bagian depannya untuk diantar ke apartemen Rasya.

“Rassyafarel-nya keluarga Galvents?” Jenar bertanya saking tidak bisa memercayai telinganya sendiri.

Deenan memejamkan matanya sebelum menanggapi pertanyaan Jenar, “Iya, Jenar. Rassyafarel Galva Nadindrayasa. Rassyafarel adiknya Rafadarren, pacar Karel. The Galvents’s Rassyafarel.”

Dan tiba-tiba saja, Deenan merasakan tubuhnya ditarik dan diseret dengan kuat dalam satu gerakan cepat lalu disusul dengan sebuah bogeman mentah yang langsung mengenai hidungnya hingga membuatnya tersungkur ke atas lantai. ⠀⠀⠀⠀

DUAGH. ⠀⠀⠀⠀

“TOLOL!” Amuk Jenar dengan amarah yang berapi-api.

Deenan mengangkat satu tangannya ke wajah setelah dihadiahi pukulan tersebut. Dan di telapak tangannya terlihat ada darah segar yang mengalir dari hidungnya.

Jenar yang sudah kepalang emosi, langsung menarik kedua sisi kerah Deenan, memaksanya untuk bangun dan berdiri. “BANGUN LO, BANGSAT!” Semprotnya galak. ⠀⠀⠀⠀

DUAGH. ⠀⠀⠀⠀

Satu lagi tinju melayang ke wajah Deenan.

Deenan tidak melawan. Ia malah membiarkan Jenar menjadikan dirinya sebagai bulan-bulanan.

Karena tidak mendapatkan perlawanan inilah, Jenar semakin geram dibuatnya.

“OTAK LO TUH DIMANA, ANJING! LO SADAR GAK SIH SIAPA YANG LO RUSAK, NAN? GAK WARAS LO!” Serunya tak habis pikir.

Jenar baru saja hendak menghajar Deenan lagi ketika Deenan tiba-tiba tertawa dengan kedua mata yang sudah basah oleh air mata.

Deenan kemudian menatap Jenar dengan tatapan nyalang, “Lo pikir, gue mau gitu ngerusak dia?” Tanyanya dengan nada suara yang putus asa.

Tanpa menunggu jawaban Jenar, Deenan langsung mendorong tubuh sahabatnya itu dengan kasar agar menjauh darinya dan berteriak lantang, “NGGAK, BANGSAT!” ⠀⠀⠀⠀

DUAGH. ⠀⠀⠀⠀

Gantian sekarang Jenar yang harus menerima satu bogeman mentah dari Deenan.

Setelah keduanya saling menyakiti seperti itu, perlahan akal sehat mereka kembali. Terutama Jenar.

Ia pun akhirnya bangun dari posisi terakhirnya setelah dihajar, lalu membantu Deenan yang sudah berdarah-darah dengan merangkulnya dan menariknya ke sofa ruang tengah apartemen tersebut.

Diambilnya beberapa helai tisu dari kotak yang tersedia di atas meja lalu memberikannya pada Deenan yang sedang kewalahan menadangi darah yang masih terus mengucur dari hidungnya.

“Ke rumah sakit, nggak?” Tanya Jenar yang pipinya sendiri pun luka pada Deenan dengan acuh tak acuh.

Deenan menerima tisu tersebut sambil menggeleng pelan.

Untuk beberapa saat, kedua mahasiswa itu hanya bisa terbelenggu dalam keheningan.

Si calon sarjana teknik mesin sibuk dengan kecamuk dalam benaknya, sementara si mahasiswa ilmu sosial dan politik juga bingung kalau harus memulai lebih dulu.

Tapi, lagi-lagi, Jenar menjadi orang yang vokal dengan perasaannya yang kepalang carut-marut saat ini.

Ia berdecak keras-keras, “Gue tuh sebenernya nggak pengen marah-marah sama lo. Tapi, habis lo cerita masalah ini kemarin, gue nggak bisa tenang. Semakin gue pikirin, semakin gue katain lo tolol abis, Nan.”

Deenan diam saja mendengar penuturan tersebut.

Jenar mengusap wajahnya dengan kasar sebelum menatap Deenan serius, “How the fuck did you manage to get under his pants, though?” Ia nyaris gila memikirkan bagaimana bisa Deenan dan Rasya sampai berakhir melakukan hal gila itu.

Are you asking for the details?” Deenan balas bertanya.

“Jangan sampe nih meja yang habis ini melayang ke muka lo ya, Nan.” Ancam Jenar tak main-main.

Deenan mendelik bengis ke arah Jenar sebelum kemudian menceritakan yang sebenar-benarnya tentang kejadian malam itu.

I met him five weeks ago at our common friend’s party.” Mulai Deenan.

When we crossed paths, I had just arrived and he was already drunk.” Lanjutnya, “And little did I know, his heat was gearing up to strike. That’s why he was trying to leave the party. I smelled his pheromones, and I could tell his heat was already starting at the moment. I tried to call Karel so that he could inform Rafa about his brother’s condition, but to no avail.”

Jenar mendengarkan cerita Deenan dengan seksama, memilih untuk tak memberikan sanggahan apapun sampai sahabatnya itu selesai bercerita.

“Maboknya dia juga bukan mabok yang ngomongnya udah ngelantur total, nggak.” Deenan buru-buru menambahkan.

Kedua alis Jenar tertaut dengan serius, “Terus?”

I didn’t think much and decided to help him right away when he started saying his stomach was hurt. And aside from that, I sensed that his pheromones was already affecting many other alphas who was attending the party. It was almost impossible to just leave him there in such condition.”

Giliran Jenar yang sekarang melayangkan tatapan sinis pada Deenan sambil bertepuk tangan penuh sarkas, “Luar biasa jiwa sosial Deenan Adriel, son of Desjardins ini . . Tinggi beneeeer, bukan maen.” Sindirnya ganas.

Deenan hanya bisa menghela nafasnya pelan, sudah bisa menduga kalau respon Jenar akan seperti ini.

Ia pun kembali melanjutkan, “I drove him to his apartment. I couldn’t quite remember what happened there. And thing next thing I knew was him crying, fully naked under the same blanket with me in the next morning.” Tandas Deenan menyudahi ceritanya.

Jenar kehilangan kata-katanya.

Berkali-kali ia menarik dan menghembuskan nafasnya dengan kasar seraya otaknya memproses apa yang baru saja ia dengar.

Tapi rasanya tetap sulit.

“Nan . . Nan. Gue rasa bentar lagi gue gila nih disini.” Jenar memijat keningnya dengan hati yang berat.

“Lo juga sih nyari penyakit, elaaah.” Keluh Jenar sambil berdecak gregetan, “Rut lo pasti kepancing tuh disitu.”

“Ya, masalahnya kalau waktu itu gue tinggalin gitu aja kan bahaya, anjing.” Deenan mencoba menyanggah tuduhan Jenar.

Mendengar itu, Jenar langsung menempeleng kepala belakang Deenan keras-keras, “Tapi sekarang kenyataannya jadi elo yang jadi ketumpuan, kan!?” Balasnya bersungut-sungut.

Deenan pun bungkam.

Jenar menyandarkan punggungnya ke sofa, “Ini nih, kalau mau diibaratin, masalah lo itu udah kayak benang kusut. Udah gitu, benangnya basah. Susah, Nan.”

Deenan menyumpal kedua lubang hidungnya yang masih terus mengeluarkan tetesan darah dengan tisu secara sembarangan, tidak tahu bagaimana mengurus lukanya dengan baik dan benar tapi semoga saja ini tidak akan berakibat fatal seperti misalnya patah tulang hidung atau semacamnya.

“Bercanda banget lagian hidup lo.” Komentar Jenar tak habis pikir, “Kalau habis ini lo dibunuh sama Genta, gue beneran udah nggak akan kaget lagi. Jujur.”

“Ya, bayangin aja nih situasinya.” Ocehan panjang Jenar dimulai, “Elo, pacaran sama adeknya Genta. Bahkan lo dan keluarga lo udah minta adeknya secara langsung ke keluarga mereka. Eh sekarang, lo ngebobol anak orang lain sampai jadi darah daging. Dan parahnya lagi, ini orang nih Rasya.”

“Seorang Rassyafarel yang gak mungkin satu kampus gak kenal dia, yang orang-orang berebut untuk bisa deketin tapi susahnya minta ampun karena selain dia memang kayaknya alergi sama orang, daddynya juga protektif abis ke dia. And as if it’s not enough, Rasya adalah sahabatnya Vale, pacar Genta. Yang juga adik dari Rafa, pacar Karel. Dan Karel sama Genta, dua-duanya sahabat lo. The world war three is about to start. Mau pecah kepala gue, bangsaaaaat.” Teriak Jenar sambil mengacak rambutnya frustasi.

Kemudian ia menegakkan tubuhnya dan menatap Deenan lagi dengan serius, “Lo mau keluarga lo dibikinin penghiburan dimana? Gue siapin dari sekarang sini.”

“Setan lo.” Semprot Deenan sebal.

“Lo yang ngehamilin anak orang, kenapa jadi gue yang setan, anjing!?” Sahut Jenar tak terima.

“Diem deh ah, Nar. Tambah pusing gue dengerin lo.” Kata Deenan.

Jenar pun akhirnya diam sementara Deenan kembali berkecamuk dengan pemikirannya sendiri.

Setiap kali ia memejamkan matanya sekarang, ada wajah Keelan yang melintas di benaknya dengan senyum khas milik tunangannya itu.

Perasaan bersalah semakin menjadi-jadi bersarang dalam diri Deenan sekarang.

Ingin tetap bersama dengan Keelan, tetapi Deenan sadar kalau sekarang rasanya memiliki keinginan itu saja sudah tidak pantas baginya.

Menjadi dewasa dengan tak lari dari tanggung jawab pun, resikonya besar sekali.

Yang ia pertaruhkan disini bukan hanya hubungannya dengan Keelan sama tetapi juga hubungan persahabatan serta hubungan kekeluargaan mereka yang kini juga berada di ujung tanduk.

Benar kata Jenar, sih. Kalau habis ini ia mati dibunuh oleh Genta, ya sudah bukan sesuatu yang mengejutkan lagi.

“Kira-kira, rencana lo apa, Nan?” Tanya Jenar memecah keheningan mereka, “Seenggaknya untuk waktu dekat ini.”

Deenan menghela nafasnya pelan, “Selain nggak lari dari tanggung jawab, gue belum tau lagi. Karena gue kan nggak bisa gerak sendiri, gue harus tanya Rasya maunya gimana, nyamannya gimana. Dan kesepakatan dari obrolan gue sama Rasya, ya baru itu aja. Kita pertahanin anaknya.”

Jenar mengangkat sebelah alisnya ke arah Deenan, “Jadi, lo yakin akan pilih Rasya?”

Deenan terdiam sebentar lalu tertawa hambar, “Emangnya masih bijak ya kalau gue pilih Keelan? Jatuhnya egois gak sih gue?” Ia malah balik bertanya.

Jenar diam, tau kalau Deenan tidak sedang benar-benar bertanya untuk sebuah jawaban padanya.

“Lo tau selama ini hubungan gue sama Papa dan Mama gue kayak gimana, kan?” Tanya Deenan pahit.

Jenar mengangguk.

“Gue cuma nggak pengen anak gue ngerasain apa yang gue rasain selama ini, Nar.” Lirih Deenan sendu.

Kali ini, Jenar memilih untuk kembali diam dan mendengarkan Deenan.

“Tadi pas gue anterin Keelan pulang, gue coba yakinin diri gue lagi setelah dia masuk ke rumahnya. Gue duduk di mobil, gue diem, mikir.” Lanjut Deenan.

Today, I spent half of day with Rasya, taking care of him while he’s on his worst state.” Deenan tersenyum kecut, “I was just taking my responsibility for him, for the little human being I made that growing inside him. ButI couldn’t help thinking that I was cheating on Keelan with Rasya. And it felt so wrong, Nar.”

Both Keelan and Rasya doesn’t deserve this. I ruined both of them. I ruined Keelan’s dream future that he thought he will be sharing it with me, and I ruined the perfect life that Rasya is living.” Ada getar putus asa yang luar biasa dari suara Deenan.

“Dan setelahnya, coba memposisikan diri gue pada dua kemungkinan.” Ujarnya.

“Kalau gue lepasin Keelan, suatu saat nanti, Keelan pasti akan dapet yang jauh lebih baik dari gue. And I would be really happy if he did. Walaupun gue sendiri tahu, untuk dia sembuh dari luka yang gue kasih pasti susah.”

But, thinking that someone would take my position in my child’s life, it hurts me in a way that I never knew I could feel.” Kata Deenan pahit, tak kuasa membayangkan kemungkinan akan ada orang lain yang mengisi peran dirinya sebagai ayah dari anaknya itu.

Walaupun dari sejak pertama kali diberi tau Jenar sudah bisa menebak pilihan Deenan yang cenderung berpikir dengan logikanya, ia cukup terkejut sekarang karena ternyata sang sahabat ternyata ikut melibatkan perasaannya disini.

Jenar tahu, Deenan pasti akan memilih Rasya karena akal sehatnya sadar tindakan yang mereka perbuat itu salah walaupun memang tidak dilakukan dalam kesadaran penuh karena malam itu baik Deenan dan Rasya sudah diambil oleh sisi binatang dalam diri mereka.

Tapi nyatanya, Deenan bisa sampai pada konklusi ini karena perasaannya.

Perasaan sebagai seorang anak yang terlahir dari kedua orangtua yang sama-sama dominan dan berakhir membuatnya kehilangan arah selama ini.

Mungkin kasusnya memang jauh beda, tapi Jenar paham maksud Deenan.

Deenan ingin ada untuk anaknya.

“Yaudah, kalau gitu.” Kata Jenar akhirnya, “Kalau lo yakin sama pilihan lo, go for it. Thank you, karena lo nggak jadi pengecut disini, Nan.”

“Gimana pun nanti ketika pada akhirnya semua ini terungkap, gue nggak akan bela lo atas keputusan lo malam itu yang menurut gue memang salah lo sendiri karena nyari perkara. You know about the worst possible scenarios of the situation, but you chose to walk into it.” Ucap Jenar terang-terangan.

Kemudian ia melanjutkan, “Tapi kalau sampai ada yang berani nyalahin lo atas pilihan yang lo ambil untuk pertanggungjawaban ini, gue maju, Nan, berantemin mereka paling depan.”

Jenar menatap sahabatnya itu, “Karena elo sama Keelan itu baru terikat janji yang belum tersumpah, sementara lo sama anak lo terikat dengan benang darah.”

Benar.

Dirinya dan Keelan baru sebatas memiliki rencana masa depan bersama. Tetapi, anak itu, ia sudah terlanjur tumbuh dan suka ataupun tidak akan tetap menjadi bagian dari diri Deenan yang selamanya tak bisa dihapuskan.

Sakit.

Situasi yang Deenan dan Rasya hadapi sekarang akan menyakiti banyak pihak ketika semuanya terkuak.

Menyakiti mereka berdua, menyakiti keluarga mereka.

Dan diantara semua orang yang akan tersakiti atas kehadiran anak ini, jelas semua orang akan setuju Keelan yang akan mengalami sakit lebih dari yang lain.

Walaupun diriny dan Rasya melakukannya di luar kendali mereka, tetap saja, Deenan sadar ia telah mengkhianati Keelan.

“Berarti lo ada rencana untuk ngasih tau semuanya ke Keelan, Nan?”

Deenan mengangguk, “Bukan cuma ke dia, tapi juga keluarga kita bertiga.”

“Kapan?” Jenar hanya sekedar memastikan.

“Secepatnya,” Sahut Deenan dengan yakin, “Secepatnya gue bakal diskusi sama Rasya dan minta dia bawa gue menghadap ke orangtuanya dulu. Baru habis itu ke Keelan dan keluarga kita berdua.”

Jenar mengangguk-angguk, “Well, good luck, then. Nanti gue siapin ambulans, in case you need to be admitted to the hospital for several broken bones.” Candanya di akhir kalimat, berharap bisa menghibur tragedi yang dialami Deenan ini dengan komedi walaupun tak seberapa menolong.

Deenan berhasil tertawa pelan mendengar candaan yang dilontarkan oleh Jenar.

Although he’s already saw it’s coming.

Deenan sendiri sebenarnya tidak tahu pilihannya ini sudah benar atau belum.

Ia hanya bisa berharap, semoga niatnya dan Rasya untuk tidak memperburuk kesalahan yang sudah mereka perbuat direstui oleh sang Dewi. ⠀⠀⠀⠀ Even if he has to go suffer under broken bones and everything, as long as Rasya and the baby will remain untouched, it’s okay for Deenan.


230222, cc.