Blessed Cursed : Bestfriends Favor.
As best friends, they both tagged along in the same difficult situation. It’s undeniable that they are currently covering up their best friends’ wrongdoings. They could be dragged into the upcoming consequences, too. Yet, it’s too late to take few step back because they already knew way too much. But then again, they have no right to mingle and/or interfere in the decision-making that is considered the best for the problem by their best friends because it’s beyond their realm. And no matter what decision that will be made, all of them would still be blamed for their actions. So, it is wise for them to start on trying to understand each other more since it most likely would be only four of them until the finish line.
Wednesday : February 2, 2022.
Jenar sampai di pelataran rumah nenek Vale tepat satu jam setelah ia bertukar kabar dengan anak itu.
Saat ia keluar dari dalam mobil, udara sejuk menerpa wajahnya. Memang, rumah yang hendak ia sambangi ini berada di sekitaran daerah dataran yang lebih tinggi, jadi suasananya lebih asri jika dibandingkan di pusat kota.
Jenar melangkah masuk karena Vale tadi sudah mewanti-wantinya untuk langsung masuk saja dan membuka sendiri pagar rumah tersebut.
Rumah itu tidak seberapa besar dan tidak juga bertingkat, tapi memiliki pekarangan yang cukup luas.
Di beranda rumah, Jenar melihat Vale baru saja keluar dari dalam sambil mendorong kursi roda yang diduduki oleh seorang wanita lansia yang tidak lain tidak bukan pasti neneknya yang ia ceritakan singkat kepadanya. Ada dua orang suster disana yang mendampingi mereka.
“Jenar!”
Jenar melambai kecil saat Vale menyadari keberadaannya disana dan langsung bergerak menghampiri.
Vale menundukkan sedikit tubuhnya untuk berbicara di telinga sang nenek, “Oma, kenalin. Ini temen satu fakultas sama satu organisasi Vale, namanya Jenar.”
Wanita paruh baya itu pun melemparkan senyum bersahajanya padanya. Dan Jenar langsung meraih tangan beliau untuk ia cium dan membungkuk sopan, “Sore, Oma . .”
“Pulang kuliah?” Tanya Oma.
Jenar mengangguk sambil membalas senyum itu, “Iya, Oma.”
“Jalannya macet, ya?” Wanita itu menepuk-nepuk tangan Jenar yang berada dalam genggamannya.
Jenar tertawa kecil, “Nggak terlalu kok, Oma. Macetnya tadi pas di daerah kampus aja . . Oma apa kabar, sehat?”
“Sehat . .” Sahut Oma, masih dengan tatapan teduh miliknya yang belum berpendar sama sekali dari sosok Jenar di hadapannya.
Melihat percakapan hangat yang tertukar antara Jenar dan Omanya pada pertemuan pertama mereka itu membuat Vale teringat akan sesuatu.
Namun ia tidak ingin memusingkannya lebih jauh.
Vale pun beralih kepada neneknya kembali, “Oma, maaf. . Oma hari ini jalan-jalan sorenya ditemenin sama suster aja, yaa? Karena Vale mau ada yang diobrolin sama Jenar dulu . . Nggak apa-apa, kan?”
Oma menepuk-nepuk pelan pipi Vale dengan satu tangannya yang bebas, “Nggak apa-apa, sayang.”
Lalu, Omega itu menoleh kepada dua orang suster yang berdiri agak di belakangnya, “Suster, aku titip Oma aku, ya?”
Dua tenaga kesehatan itu pun mengangguk, “Baik.”
Kemudian Vale hendak mendorong kursi roda omanya untuk turun dari tangga beranda depan.
Jenar yang merasa mempunyai tenaga lebih besar pun dengan sigap mengambil alih, “Sini, biar gue bantu, Val.”
“Thank you.” Ucap Vale, kecil.
Setelah kedua suster itu membawa Oma pergi untuk jalan-jalan sore, tersisa lah Vale dan Jenar disana.
“Masuk, Nar.” Vale mempersilahkan Jenar untuk masuk ke dalam rumah.
“Oh, iya. Thanks,” Jenar membuntuti langkah Vale di belakangnya.
Vale membawa ke kolam ikan yang ada di rumah Omanya itu.
“Duduk dulu, ya? Biar gue ambil minum dulu buat lo.” Kata Vale saat mereka sampai di tepian kolam tersebut.
“Nggak usah repot-repot, Val.” Jenar merasa tidak enak hati.
Vale mendengus kecil, “Nggak repot, cuma minum aja. Kan lo tamu. Tunggu, ya.”
Tanpa menunggu respon dari Jenar, Vale langsung masuk kembali ke dalam dan meninggalkan tamunya itu disana.
Jenar mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling setelah menyamankan dirinya duduk di atas dek kayu tersebut sambil menopang dirinya kepada dua tangannya yang ia taruh di belakang tubuhnya.
Interior dan desain rumah ini terasa familiar untuknya karena berkiblat ke arah arsitektur rumah di Jepang yang mana sama seperti di rumahnya sendiri.
A koi pond, wooden decks, neutral tones, lots of textures and natural materials.
This feels like home.
“Adem ya, Nar?” Tiba-tiba suara Vale kembali.
Jenar pun menoleh, “Iya, nih. Hampir-hampir rebahan ini gua disini saking ademnya.” Candanya menimpali.
Vale tertawa kecil, “Yaudah, rebahan aja situ. Capek kan lo abis nguli di kampus.”
“Ya kali, dah. Berasa di rumah nenek amat gua.” Sahut Jenar.
“Ya, emang bener bukannya? Rumah nenek. Nenek gue, kan?” Balas Vale.
Giliran Jenar yang mendengus geli, “Bisa aja lu.”
Vale kemudian menaruh dua cangkir teh hangat yang ia bawa serta sepiring kue brownies coklat buatan Oma.
“Perasaan tadi bilangnya ‘cuma minum’, dah?” Koreksi Jenar, sekaligus berusaha mencairkan suasana sebelum memulai pembicaraan mereka yang serius.
“Iya, kebetulan Oma gue emang hobi baking dan buat brownies. Jadi, silakan cobain. Kan, pas banget buat temen minum teh.” Vale menjelaskan lalu mempersilahkan lawan bicaranya itu untuk mencicip, “Minum, Nar. Sekalian cobain brownies bikinan Oma.”
“Iya, iya. Aduh . . Jadi gak enak gue, dijamu abis gua disini. Thank you, loh, Val.” Jenar merasa sungkan.
“Halaaah, santai.” Balas Vale sambil kemudian ikut duduk di samping Jenar dan membiarkan kakinya menjuntai berayun-ayun di antara udara dan permukaan air kolam.
“Gue sengaja bawa lo kesini aja. Soalnya pas gue pikir-pikir, kalau ngobrol di dalem kayaknya akan sumpek banget . .” Kata Vale tiba-tiba.
“Iya, sejuk disini. Interior rumah oma lu sama rumah gua, mirip, by the way. Jadi gue berasa kayak di rumah sendiri tadi for a moment.” Ujar Jenar.
Vale menoleh penasaran, “Oh, ya?”
“Oma lu terima jadi kayak begini atau memang pas bangun rumahnya ada request khusus, Val?” Tanya Jenar basa-basi.Vale menatap ikan-ikan koi yang berenang di bawah sana.
“Well, sebetulnya rumah ini dikasih sama om Raja, daddynya Rasya. Beliau yang urus dan atur semua desain sama interiornya. Jadi, gue sama Oma itu yaa jatuhnya cuma terima jadi aja.” Cerita Vale sambil tersenyum kecil.
“Kalau rumah lo ala-ala rumah Jepang gitu mah kayaknya karena lo tuh mixed Japanese kan, ya?” Tanya Vale kalau ia tidak salah ingat.
Jenar mengangguk, “Iya, bener. Bokap gue yang Japanese.”
Basa-basi mereka sampai disana.
Untuk beberapa saat, hanya terdengar suara gemericik air kolam sementara keduanya sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Dan setelah cukup lama saling diam, Jenar memecah keheningan tersebut. “Val.”
Vale menoleh ke arah Jenar sebagai tanggapan atas panggilan tersebut melalui gestur tubuhnya.
Jenar balas menatap Vale dan berkata,“I’m so sorry.”
“Pardon me?” Vale agak bingung dengan Jenar yang tiba-tiba membuka obrolan mereka dengan kalimat tersebut.
“I’m sorry for what happened between you and Genta. I don’t know if it has anything to do with Deenan and Rasya’s problem, but—still.”
“You knew?” Vale malah tambah bingung.
Jenar tahu? Kok bisa?
Jenar mengangguk.
“He told you?” Vale memastikan lagi. Pasalnya, Genta mengatakan kalau tidak ada satu pun di antara Jenar, Deenan dan Karel yang tahu mengenai perkara ini.
“Unconsciously, yes.” Sahut Jenar dan langsung menjelaskan, “Minggu lalu, Genta tiba-tiba ngajak efse buat minum. It’s been awhile since last time I remembered him getting the liquid courage. Gue ngerasa aja ada yang nggak beres, so, I accompanied him. Karel nyusul setelahnya. He was drinking pretty heavily. And when I drove him back to his apartment, he was drunk talking about his relationship with you.”
Vale menatap Jenar dengan was-was, “Karel sama Deenan . . tau?”
“Deenan gue kasih tau, Karel belum.” Jawab Jenar.
Ah, Vale mengerti sekarang.
Berarti yang tadi subuh itu, Deenan tiba-tiba meminta maaf padanya bukan karena ia membaca persitegangan antara dirinya dan Luca yang terjadi di grup keluarga Jalesadeta. Melainkan karena ia sudah lebih dulu tahu tentang kebenarannya sebelum Vale perjelas.
“The reason why I asked you to meet me in person is no other than Deenan and Rasya’s ill-fated situation.” Ungkap Jenar memulai pembicaraan yang sudah mereka niatkan.
“Kalau menurut pandangan lu, gimana, Val?” Jenar ingin tahu seperti apa pandangan Vale terhadap masalah kedua sahabat mereka ini.
“We are all fucked up. Aren’t we?” Seulas senyum pahit terpatri di wajah Vale. “Dibilang ngelindungin mereka, ya sebetulnya nggak sepenuhnya. Dibilang ngedukung mereka, pun juga nggak.”
“Gue yakin, lo juga sama kayak gue kan, Nar?” Vale menatap Jenar dengan penuh arti, “Kita tau sahabat kita buat kesalahan, tapi kita nggak bisa berbuat banyak untuk bantu mereka nyelesaiin masalah itu karena bukan kita yang ada di posisi mereka.”
Jenar mengangguk dan tertawa hambar, “Right. It’s not like they were sober and in their right minds when it was happened. And both of them are fully aware that they are at fault here, mau itu disengaja ataupun nggak.”
Vale menghela nafasnya dengan berat.
Jenar mengikuti arah pandang Vale yang jauh menatap ke depan, “Gua nggak tau yaa, Val, udah seberapa jauh lu tau tentang masalah ini dari Rasya. Atau udah seberapa jauh Rasya ngebuka masalah ini ke lu. But as for me, gue rasa, Deenan is already opened up to me way too far than he should. Yang akhirnya hal itu ngebuat gua sebagai sahabatnya, mau nggak mau ngejadiin masalah ini juga sebagai masalah gua. To the point it started to feel like I need to cross the boundaries by stepping in before he lost all his sanity and unable to do the wise decision-making in the end.”
“Tapi, sebelum itu, I want to ask you a favor to give me some insight from Rasya’s point of view since you are his best friend. Because, Vale, I swear to all the deities—all of Rasya’s reasoning from the beginning sounds more like bullshits for me.” Curhat Jenar mengenai apa yang ia rasakan seada-adanya.
“But I remembered there’s a saying that it’s so easy to judge and more difficult to understand. At one point, I tried to understand his reasons that he told Deenan. And the more I tried, the more I get frustrated. There’s only one of his reason that I can relate to. But other than that—,” Kalimat Jenar menggantung seiring dengan ia angkat kedua tangannya, pertanda seolah ia menyerah untuk memahami.
“Honestly speaking, I don’t want to judge him. Because this problem is not as easy as we thought,” Lanjut Jenar. “I want to understand him. Yet, I don’t think I could stand him if I have to talk to him in person, eyes to eyes. My anger issue would never.”
Vale mendengus kecil mendengar, “Yeah, true. For someone like you, to have a talk with someone like Rasya and you barely known him, it would definitely take a toll on you. And it’s not like Rasya would agree to have a talk with you either.” Sahutnya.
“Right?” Jenar langsung, “So, please elaborate me, If you don’t mind.” Pinta Jenar sekali lagi.
Ada jeda selama beberapa saat setelah permintaan itu terucap.
“What do you think about Rasya? And what kind of a person he is in your eyes?” Alih-alih bercerita, Vale malah melemparkan sebuah pertanyaan tak terduga pada Jenar.
Jenar sempat terkesiap dan berpikir sejenak untuk menjawabnya.
“He’s . . of course we are all can agree that he’s living a life. He has that pretty face, stunning looks, brilliant brain, and all.” Jenar coba merangkai kalimatnya dengan sebaik mungkin, “Yet, he seems cold, mysterious, distant, hard to approach, untouchable, and intriguing like there’s a hidden depths that needs to be uncovered.”
Vale tersenyum tipis mendengar jawaban Jenar yang sudah tidak asing lagi di telinganya tatkala ada orang lain membicarakan seperti apa Rasya di mata mereka. “Everyone would almost immediately agree with you at how excellent you described him in words.”
“Tapi, kalau misalnya gue bilang itu semua cuma bentuk self-defense dan topeng dia, lo akan percaya gak, Nar?” Vale menoleh lagi untuk menatap Jenar telak di kedua matanya.
And somehow, Jenar found himself getting drawn on those honey dripping eyes which made him unable to form coherent words.
“I don’t know what past trauma he may still be processing up until today that made him created such persona, but as someone who has been friends with him since kindergarten days, I would say the real him is nothing like any of trait you were mentioned earlier.” Lanjut Vale.
“Yes, I won’t debate you about there’s something in him that make it feels like a hidden depths that needs to be uncovered.”
Jenar memasang kedua telinganya untuk mendengarkan kalimat demi kalimat yang Vale lontarkan.
“He may seems distant, but it’s not necessarily because he dislikes people. He just finds it more difficult than most to be congenial or engaging. That’s why he keeps people at arm’s length.”
“Rasya juga bukan termasuk golongan orang yang mudah untuk kita pahamin, Nar. Bahkan gue sendiri yang udah puluhan tahun temenan sama dia pun, kadang masih suka bingung gimana caranya harus berhadapan sama dia pada saat-saat tertentu.” Curhat Vale.
“He has this toxic trait of keeping a lot to himself. He has the tendency to safeguard his own business without relying on others as far as possible. Mungkin, kalau Deenan nggak nyuruh dia buat cerita semisal ada yang nggak beres setelah malam itu, Rasya nggak akan pernah buka mulutnya untuk cerita. Dan kadang, kebiasaan dia yang satu ini bikin gue gerah sendiri. Capek sendiri sama dia.” Vale ceritakan semua dasar tentang Rasya.
“Tapi, di luar itu semua, Rasya is one of the kindest and sweetest person that ever walked on this. He’s always full of love and warmness around people he loves as long as I can remember. He’s not a cold-hearted person. If he was, he wouldn’t care to offer me his hands when I was at my lowest. Cold-hearted person doesn’t not have the ability to show their empathy for someone’s misfortune.”
Dari cara Vale bercerita, Jenar bisa merasakan perbedaan yang sangat timpang antara Rasya yang selama ini dilihat olehnya dan publik serta Rasya yang dikenal oleh Vale.
“Lo bilang tadi semua alasan yang dia kasih tau ke Deenan dalam ngehadapin masalah ini tuh kedengeran kayak bullshit aja, ya?” Tanya Vale.
Dan Jenar mengangguk.
“Boleh kasih tau gue insight dari lo tentang mana-mana aja alasan dia yang lo anggap bullshit sama satu alasan yang tadi lo claim bisa lo relate itu, nggak?” Gantian Vale yang meminta pada Jenar.
Jenar menarik nafasnya dalam-dalam sebelum kemudian bercerita.
“Dari awal gua tau masalah ini, gua jelas langsung having a major mixed feelings ya, Val. Karena gua yakin betul Deenan ngelakuinnya pasti accidental, bukan karena dia sengaja. Dan sebagai sesama Alpha, sedikit banyak gua bisa ngerasain pusingnya Deenan tuh kayak apa. Niat awalnya baik, cuma mau nolong, tanpa ada niat untuk berkhianat atau apapun itu, tapi malah kena apes kayak begini.”
“Gua langsung wanti-wanti Deenan dari awal buat ikutin kata hatinya aja dan jangan mikirin masalah tega atau nggak tega, karena ini udah bukan perkara itu lagi. Mau nggak mau, seneng nggak seneng, memang akan ada yang tersakiti. Entah itu Keelan, ataupun anaknya.”
“Deep down saat itu, walaupun yang gua bar tau saat itu hanya masalah dia nggak sengaja ngehamilin orang tanpa gua tau siapa orangnya, somehow gua udah bisa nebak siapa yang akan dia pilih pada akhirnya.”
“Anaknya.” Cicit Vale pelan, tahu sama tahu.
Dan Jenar pun mengulanginya sebagai bentuk penekanan, “Anaknya.”
“Jujur, gua agak ngeri Deenan nih bakal ngelama-lamain diri buat ambil keputusan karena pasti berat banget buat dia ngelepasin Keelan dan kalau mau nunggu sampai dia siap, ya kapan beresnya nih masalah. Iya, gak?”
Vale mengangguk-angguk setuju.
“Makanya gua terus ngedesak dia buat cepet-cepet ambil tindakan. Karena apa? Ngulur waktu nggak akan buat posisi mereka aman. Semakin mereka ngulur waktu, kebohongan yang dibuat akan semakin banyak, resikonya juga akan semakin besar, kekecewaan yang akan dirasain sama orang-orang terdekat mereka pun akan semakin dalam. Yang tadinya dia nggak niat buat ngekhianatin Keelan, pelan-pelan tanggung jawab yang dia punya ke bayi itu akan ngebuat seolah-olah dia memang selingkuh sama Rasya. Kalau udah begitu, nanti yang susah kan mereka-mereka juga. Mau cari pembelaan kayak gimana lagi coba kalau labelnya udah selingkuh? Istilahnya, mereka udah salah, tambah salah, pakai ditutup-tutupin pula dengan mengulur waktu.” Ucap Jenar panjang lebar.
“Habis gitu Deenan nyoba tuh, buat ngomong sama Rasya duluan. Dia mau beresin urusan sama keluarganya Rasya lebih dulu, karena mungkin ya, di pikirannya Deenan damage control ke keluarga Rasya akan lebih mudah kalau dibanding ke Keelan dan keluarganya. Paling-paling dia yang akan habis dibantai sama bokapnya Rasya. Yang penting tuh jujur dulu ke daddy sama papinya maksud Deenan. Dan gua pun memang nyaranin untuk beresin ke keluarga Rasya dulu, karena gua tau pasti kalau ke Keelan duluan dia yang bakal berat hati.” Ungkapnya tanpa meninggalkan satupun rangkaian ceritanya.
“And guess what?” Jenar menatap Vale dengan senyum dipaksakan.
“Rasya nolak?” Tebak Vale tepat sasaran.
“Iya, anjing! Dia minta Deenan buat kucing-kucingan aja dulu.” Seru Jenar sambil bersungut-sungut kesal. Yang tadinya ia sudah bisa biasa saja, sekarang jadi sebal lagi dengan Rasya hanya dengan mengingat betapa bodohnya pilihan yang ia ambil itu.
“Terus akhirnya gua berantem sama Deenan gara-gara itu. Menurut gua, dengan Deenan yang udah jelasin ke dia tentang worst possible scenario-nya dari ngulur waktu, Rasya tuh egois banget sumpah. Dia tuh kayak cuma lagi trying to save himself doang, anjrit. Padahal dengan dia terus-terusan ngajak Deenan buat ngulur waktu, apa sih yang dicari, Val? Apa menurut dia orangtuanya nggak akan makin kecewa, ya? Bayangin, dia show up dan milih buat jujur pas perutnya udah makin besar. Lah, gua sih kalau jadi daddynya dia, gua bakal amuk sedia-dianya juga bukan si Deenan doang, asli. Kayak, woy? Mau selama apa lo umpetin? Sampai itu anak lahir, kah? Kalau kayak gitu, yang bakal makin deket sama kematian tuh Deenan, anjir. Bukan dia. Apa nggak bakalannya abis mati dicincang si Deenan sama Jalesadeta kalau ngulur waktu selama itu?” Cerita Jenar bersungut-sungut.
Dari cara Jenar bercerita, Vale bisa ikut merasakan sekesal apa Alpha itu pada Rasya.
Vale pun tersenyum mengerti, “Sebel banget pasti ya, Nar? Padahal lo udah betul ambil keputusan dan kasih saran yang terbaik, eh malah dipaksa untuk diem di tempat?”
“Bukan sebel lagi, anying. Gua waktu itu udah di tahap mau makan orang kali saking gregetnya liat cara itu anak berdua nyelesain masalah mereka.” Balas Jenar tak memungkiri dugaan Vale.
Vale tidak menyahut lagi sebagai isyarat untuk Jenar melanjutkan ceritanya.
“Akhirnya, karena gua keburu emosi tuh, gua bilang gini ke Deenan. Udah deh, sekarang kalau si Rasya tetep mau keras kepala kayak begitu, mendingan dia beresin urusannya sama Keelan. Soalnya Deenan tuh kayak nurut banget anjrit sama omongan Rasya, gue sampe bingung. Buset, dah. Kayak gak ada ngelawan-ngelawannya sama sekali. Pikir gua, jangan-jangan udah bawa perasaan nih anak ke Rasya. Yaudah, gitu loh. Kalau lu mau sama Rasya, udahin dulu yang sama Keelan. Biar nggak berlarut-larut tuh pengkhianatannya. Karena kan, ya gimana ya, Val . . Keelan tuh adeknya Genta. Genta sahabat gua. Gua udah nganggep si Keelan kayak adek gua sendiri, lah. Dan dengan ngeliat si Deenan nih mulai lebih mentingin Rasya, gua jadi rada sewot juga, kan.”
Vale bisa mengerti perasaan Jenar. Karena sesungguhnya itulah yang ia rasakan ketika ia tahu ayah dari anak yang dikandung Rasya adalah Deenan.
“Deenan juga kayaknya kebawa emosi tuh abis gua ngomong begitu. Terus dia jelasin kan, Rasya itu bukan gak mau ngomong sama orangtuanya. Tapi dia belum siap karena kondisi fisiknya lemah, mentalnya juga apalagi. Dan di antara mereka udah bukan tentang mereka berdua aja, tapi juga ada nyawa anak mereka disitu. Dan kalau dipaksa, bisa-bisa nyawa anak mereka gak selamet, kan.”
Jenar menarik nafasnya sebelum melanjutkan, “Disitu gua jadi mikir. Oh, yaudah. Gua terima alesannya karena yang jadi pertimbangan kan kandungannya. Dan tujuan utama dari penyelesaian masalah ini kan biar itu anak bisa lahir sehat dan selamat, ya. Walaupun gua masih agak berat hati, tapi gua coba untuk ngertiin. Karena sekali lagi, bukan gua yang ada di posisi mereka. Jadi gua cuma bisa kesel-kesel doang tanpa tau the real deal dari masalah mereka, kan.”
Vale meraih cangkir minuman hangat yang ia buat tadi dan menyesapnya, “Untuk alasan Rasya yang itu . . Gimana, ya? Gue bingung jelasinnya . .”
Vale berhenti sejenak untuk merangkai kalimatnya.
“Rasya itu . . apa, ya? Kalau mau dibilang sebagai people-pleaser, gue rasa nggak sepenuhnya, sih. People-pleaser kan cenderung ramah, supel, murah hati, ringan tangan untuk bantu sesama dan beberapa juga ada yang punya kecenderungan ingin dapat attention orang lain, ya? Rasya mungkin nggak seramah itu di mata orang lain dan nggak begitu nyaman ketika dapat atensi berlebih yang nggak seharusnya dari orang-orang. Tapi, semua kecenderungan seorang people-pleaser yang lain itu ada di diri dia menurut sepenglihatan gue selama ini, ya. Terlebih lagi untuk urusan selfless dengan lebih mentingin orang lain ketimbang diri dia sendiri.”
Vale menghela nafasnya dengan berat, “Dan kalau mau ditanya kenapa dia bisa sampai kayak begitu pun, gue nggak bisa jelasin dengan pasti kenapanya.”
“I think, pada dasarnya Rasya memang terlahir sebagai anak yang penuh sama cinta kasih dan budi baik aja, gitu. It’s his in-born nature. Tapi, jelas pasti ada hal lain yang bikin dia sampai akhirnya selalu ngutamain perasaan dan kepentingan orang lain di atas perasaan dan kepentingannya sendiri.” Ungkap Vale.
“Kalau menurut lo, kira-kira apa yang akhirnya bikin dia jadi pribadi yang kayak gitu?” Jenar tenggelam dalam studi tentang kepribadian Rasya.
Vale bergumam sebentar, “Yang masuk akal, sih, cuma satu ya. Beban tidak langsung yang dia pikul karena terlahir sebagai seorang descendants of the Moon Goddess dan sebagai seorang Galvents, maybe?”
Jenar ikut berpikir.
“I mean, his silver-white hair forced him to get used to being the central of attention all his life. And I bet his title as the face of the Galvents next to his daddy is not doing him any help.” Vale menjelaskan maksud kalimatnya yang sebelum ini.
“Dia terbiasa dengan gagasan people always looked up to him and his family, as the consequences of being part of the nobles. Apapun yang mereka lakukan, pasti selalu diawasi sama mata publik, kan? Jadi yaa, gue rasa di alam bawah sadarnya udah tertanam untuk sebisa mungkin mencoba menjaga nama baik itu. Dan sadar nggak sadar, akhirnya bikin dia jadi takut salah, takut gagal dan takut ditolak dalam setiap tindakannya. Walaupun dari keluarganya sendiri, sejauh yang gue tau nih, nggak pernah nuntut dia untuk selalu jadi yang sempurna, ya. Apalagi daddynya. Daddynya justru salah satu orang yang selalu memanusiakan dia menurut gue.” Vale mengutarakan pemikirannya tanpa cela.
Ia kemudian menoleh ke arah Jenar lagi, “Keluarga lo juga part of the nobles kan, Nar? Pasti lo ngerti maksud gue. Pasti lo paham beban nggak langsung yang ada di pundak Rasya untuk jaga nama baik keluarganya itu, kan?”
Pikiran Jenar mulai terbuka setelah mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Vale.
“Jadi, alasan kenapa dia lebih milih untuk ngulur-ngulur waktu, yaa, sebetulnya nggak jauh-jauh dari dia takut dirinya jadi kekecewaan untuk orangtua dan keluarganya sekaligus jadi bahan cemoohan untuk khalayak ramai. Walaupun pada akhirnya nanti, hal itu tetap nggak bisa dihindari.” Vale menarik kesimpulannya.
Ia lalu melanjutkan, “Elo dan gue, sebagai pihak yang cuma bisa ngeliatin dia sama Deenan berusaha untuk beresin masalah ini sih mungkin rasanya emang gregetan, sebel, kesel. Karena ya kata lo tadi, ngulur waktu nggak akan bikin posisi mereka jadi aman, kok. Malah kemungkinannya akan tambah parah.”
“Tapi buat dia yang ada di posisi itu, kan berat, Nar. Semuanya terlalu tiba-tiba. Dan untuk ukuran orang kayak Rasya yang sepuluh tahun dari sekarang dia udah tahu apa-apa aja rencana hidupnya kalau aja masalah ini nggak ada, pasti berat banget . . Terlalu banyak yang harus dia benahin. Dari gimana caranya dia harus lawan rasa takutnya, gimana caranya dia harus ngejaga pikirannya supaya tetep waras demi anaknya, gimana caranya dia harus ubah semua rencana hidupnya yang kacau balau dalam satu malam. Berat banget, Nar, jadi Rasya . . Kalau gue di posisi dia mungkin gue udah gila duluan sebelum gue bisa lahirin itu bayi.” Imbuhnya.
“Kita juga nggak bisa paksa dia untuk siap walaupun kalau ngomongin masalah siap atau nggak, nggak akan pernah ketemu ujungnya. Karena sejujurnya, Nar, Rasya itu kondisi fisiknya sekarang memang lemah banget. Mentalnya pun sama. Seeing how the baby is still growing strong in his tummy aja sebenernya udah masuk sebagai keajaiban deh gue rasa. Sumpah, gue nggak bohong. Pregnant person tuh rentan banget, Nar. Apalagi trimester pertama begini. Yang nggak punya banyak kegiatan dan pikiran aja, rentan keguguran, kok. Apalagi yang posisinya kayak dia ini . . .” Ungkap Vale tentang satu hal yang krusial tersebut.
Vale kemudian menatap Jenar satu kali lagi, “You want to try to understand him, right?”
Jenar memberikan jawabannya lewat sebuah anggukan kepala.
“Gue cuma mau bilang satu hal aja, Nar. Understanding tuh nggak melulu tentang bisa atau nggaknya kita ngerti cara pikir seseorang. But understanding requires compassion, patience, and willingness to believe that good hearts sometimes choose poor methods.”
Jenar merasa tertampar saat mendengar kalimat terakhir Vale.
Dan untuk beberapa saat, keduanya kembali tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
“Sebetulnya kalau mau bicara tentang mereka berdua, bukan cuma elo doang kok yang kesel sama Rasya. Gue juga kesel sama Deenan.” Vale memilih untuk blak-blakan dengan jujur karena ia ingin Jenar tahu kalau ia juga merasakan hal yang sama.
“I’d like to hear it out.” Sahut Jenar. Tidak usah Vale, ia sendiri saja kerap kesal pada sahabatnya itu. Dan tidak ada salahnya juga untuk Jenar mendengarkan bagaimana pandangan Vale tentang yang satu itu agar dirinya juga bisa mengerti.
Mendengar respon Jenar, Vale tercenung selama beberapa detik masih dalam posisi mengunci tatapannya dengan Jenar.
Jenar yang melihat itu mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, “What?” Tanyanya bingung dan langsung meyakinkan Vale, “Go on. I’m all ears.”
Vale pun memalingkan wajahnya untuk menatap jauh ke arah depan lagi.
“Gue tau dan gue sadar betul kalau nggak seharusnya gue blaming Deenan for all of this. Karena, sejujurnya gue pun nggak kebayang kalau yang nolong Rasya malam itu bukan Deenan, mau jadi kayak apa masalah ini. But, deep down, I couldn’t help but to feel this kind of displeasure towards him.” Mulai Vale.
“Please, don’t get me wrong.” Tambah Vale buru-buru, “I’m really grateful that he chose to be the bigger person by taking his responsibility and willingly to stay with Rasya through this tough journey. Even though it’s the bare minimum, we both can agree that not everyone, not every Alpha could do the same as he did. Right?”
“It’s . . hard for me to accept that, di masalah ini, sahabat gue yang akan terlihat sebagai pihak antagonisnya. And if you wonder, yes, I’m talking about the huge possibility that this issue will get blow up someday in the future.”
“Infidelity has always been an abomination in our kind. Walaupun Deenan sama Keelan belum terikat dengan bonding glands mereka yang saling tergigit, betrayal is still betrayal. Even if both of Rasya and Deenan are equally at fault, our society has this tendency to blame it more on the Omega. They wouldn’t give a fuck that Rasya is as equally destroyed as Keelan. They wouldn’t care what Rasya’s trying to do is only about giving the baby a life that they deserve. The only thing they would care is how Keelan getting cheated on.”
“Kalau sampai semua ini kebongkar, Rasya jelas akan langsung jadi bulan-bulanan semua orang. Dia akan dicap yang nggak-nggak. Padahal kalau mau kita tarik lagi benang merahnya, bukan cuma Keelan doang yang sakit, kok. Rasya juga sama sakitnya.”
“Semisal pada akhirnya Deenan memilih untuk udahin semua urusannya sama Keelan dan fokus dengan tanggungjawab yang dia punya ke Rasya dan anaknya, orang-orang pasti akan mikir ‘cie, Rasya menang, nih. Buktinya Deenan lebih milih dia tuh. Enak banget berhasil ngerebut tunangan orang. Padahal kalau dipikir-pikir dimana enaknya jadi Rasya, sih?”
“Di awal gue tau masalah ini, gue memang tidak langsung dikasih tau kalau Deenan adalah ayah anak itu. Tapi, Rasya bilang kalau si Alpha posisinya udah punya tunangan.” Vale membuka luka lama tersebut.
“Pada saat gue tau hal itu, gue langsung ajak Rasya ngomong. Gue tanya, lo suka sama dia? Dia ngakunya nggak. Terus gue lanjutin, tapi lo paham kan kalau ada kemungkinan elo akan jatuh rasa ke dia seiring berjalannya waktu? Dia langsung diem. Karena gue tau omongan gue bikin dia kepikiran, gue ajak dia buat pertimbangin semuanya lagi. I know whatever he had with him is just something that you and him couldn’t take control of. Bukan karena mereka walk into it willingly with eyes open wide to committ an infidelity. Maksud gue tuh, mumpung belum terlalu jauh, udahlah relain aja. Buat apa dipertahanin? There’s too many things that both of them are about to sacrifice for that little human being.”
“Cuma, keputusannya Rasya emang udah bulat. Whatever it takes, dia tetap mau kasih anak itu haknya untuk hidup. He said to me that he knows where he stands. Pertanggungjawaban Deenan itu cuma ke anaknya, bukan ke dia. Tapi, posisinya sekarang karena anaknya masih satu badan dan satu pikiran sama dia, ya mau nggak mau Deenan harus ikut jadi ngurusin dia juga.”
“Gue kenal Rasya itu orang yang seperti apa. Sahabat gue nggak akan sejahat itu untuk manfaatin keadaan. Mentang-mentang Deenan nggak punya pilihan, terus dia gunain kesempatan itu untuk menghakmilikan tuh orang jadi punyanya.” Vale merasa yakin dengan hal ini.
“Tapi, Nar, menurut lo . . . seiring berjalannya waktu, dengan semua perhatian yang Deenan kasih buat dia, apa Rasya nggak akan terbuai?”
Jenar terdiam saat tatapan kalah Vale tertuju kepadanya seraya ia berusaha memposisikan dirinya sebagai Rasya.
“Kita sama-sama tau lah ya, Nar. Sebesar apa rasa yang Deenan punya untuk Keelan. If he were on his right mind, we know he will never committed such things behind Keelan’s back like this. Bukan gue nggak kasihan sama Keelan. Tapi gue juga kasihan sama Rasya.” Vale menundukkan kepalanya dengan dalam. Lalu Jenar bisa melihat setetes air mata jatuh dari kedua mata Vale dan membasahi pangkuannya.
Dan kalimat selanjutnya terlontar dari mulut Vale dengan suara serak yang menahan isak, “Gue cuma takut kalau Rasya akhirnya luluh dan jatuh hati ke Deenan, Nar. Padahal, Deenannya nggak ada rasa apa-apa buat dia. Karena semua yang dia lakuin itu cuma demi bayinya aja. Makanya gue nggak bisa buat nggak kesel sama Deenan dengan kemungkinan itu semua . . .”
Melihat Vale yang sampai menangis terisak begini karena memikirkan betapa beratnya cobaan yang mungkin menanti Rasya di depan sana, Jenar bisa menilai kalau persahabatan yang ia jalin dengan Rasya memang sedalam itu. Apalagi tadi Vale sempat menyinggung tentang Rasya yang menjadi penolongnya saat ia berada di titik terendah dalam hidupnya. Walaupun Jenar tidak yakin ya, apa yang Vale alami.
And the fact that Vale has said this house is gifted by Rasya’s dad, already tells a lot.
Karena tidak tega, Jenar memberanikan diri untuk membawa tangannya menepuk-nepuk punggung Vale yang tertunduk bergetar itu.
Setelah mengobrol sejauh ini dengan Vale, Jenar semakin yakin akan satu hal.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan sebagai sahabat untuk memperkecil resiko yang akan terjadi atas masalah ini.
Setiap pilihan yang dimiliki oleh Deenan dan Rasya, punya tingkat resiko baik dan buruk yang sama rata. Dalam kata lain, apapun keputusan yang mereka pilih, mereka akan tetap berakhir babak belur.
Tidak ada pilihan yang paling benar disini.
Yang ada hanyalah mana sekiranya di antara pilihan keputusan itu memiliki resiko yang mereka rasa lebih sanggup untuk mereka tanggung ke depannya.
“That’s actually the one and only Rasya’s reasoning that I could relate.” Ungkap Jenar setelah ia rasa Vale sudah jauh lebih tenang.
“Waktu kemarin geger masalah tweet di akun gosip kampus, they were having a deep talk. I bet you already knew since I saw your room chat with Deenan, too.”
“Yes, I know.” Sahut Vale membenarkan.
“Siangnya, gua ke apartemen Deenan untuk nyerahin dokumen mobil yang baru dia beli untuk Rasya.” Lanjut Jenar.
Kedua mata Vale membulat tak percaya, “Deenan beli mobil buat Rasya!?”
Jenar mengangguk, “Yes. Karena dia bilang, selama dia masih kucing-kucingan dari Keelan dan keluarga mereka masing-masing, dia nggak mau nyampurin feromon Rasya sama Keelan di satu mobil yang sama.”
Mendengar penjelasan dari Jenar, rasanya Vale sulit untuk mempercayai telinganya sendiri.
“Pas gua sampai disana, Deenan lagi mabok. Gua liat tiga botol Jack Daniel’s udah kosong. Gua ajak ngomong juga udah ngawur. Ditanya apa, jawabnya apa. Sampai tiba-tiba dia nanya ke gua, Rasya udah makan belum ya, Nar? Spontan langsung gua jawab, ya mana gua tau. Habis itu dia bilang kalau Rasya nggak bolehin untuk ketemu.”
“Gua langsung ambil hp-nya buat gua jauhin karena dianya udah ngaco banget, gua ngeri dia drunk text atau drunk call ke Keelan terus ngomong yang nggak-nggak, kan gawat ya. Cuma akhirnya, gua ngide tuh buat buka HP dia. Dan gua baca semua chat yang Rasya kirim ke dia.” Jenar mengingat kembali semua kejadian di apartemen Deenan.
“Ada satu kalimat dari Rasya untuk Deenan yang ketika gua baca, jantung gua rasanya kayak digebuk.” Jenar menatap Vale lekat-lekat.
“Gue nyesel ngasih tau lo tentang anak ini.” Kalimat itu diucapkan secara bersamaan di waktu yang sama oleh Jenar dan juga Vale.
Keduanya menghela nafas mereka dengan berat dan terdiam untuk sejenak.
“I’ve been friends with Deenan for as long as I can remember, Val.” Kata Jenar.
“The only thing he wants right now is, taking the responsibilities as the best as he could in order to give that baby the father figure he always had in his mind but he never had.” Jenar sengaja menekankan hal ini pada Vale, “He might not realized this yet, but I know he would definitely kill to protect Rasya and the baby.”
“Menurut gua, Rasya nggak mungkin nggak tau tentang itu, ya. Karena Deenan pasti satu atau dua kali udah pernah nyinggung tentang hubungan dia sama orangtuanya yang . . yah, jauh banget deh kalau harus dibilang sebagai hubungan antara orangtua sama anak.” Jenar terdengar yakin sekali.
“Dan dengan Rasya bilang kayak gitu ke dia, gua tau dia pasti hancur. Karena kalimat-kalimat Rasya selanjutnya tuh seolah-olah mojokkin dia. Bener kayak yang lu bilang, dengan watak Rasya yang lu gambarin ke gua tadi, kalau Deenan nggak ngewanti-wanti Rasya dari awal untuk ngomong semisal terjadi hal yang nggak-nggak pasti Rasya nggak akan ngomong ke dia tentang anak itu.” Jenar mendengus miris.
Vale mengerti semua maksud Jenar.
“Sebetulnya Rasya bilang kayak gitu tuh cuma karena dia panik, Nar.” Sanggah Vale karena ingin meluruskan, “Karena sehabis dia selesai chattingan sama Deenan itu, dia nangis sampai ketiduran di sofa. Dia nggak ada maksud untuk nyakitin perasaan Deenan, ya walaupun memang kasar banget sih sampai bilang kayak begitu . .”
“Udah gua duga.” Sahut Jenar menimpali, “Gua sadar gua nggak bisa nyalahin Rasya sepenuhnya atas permintaan dia untuk Deenan jaga jarak. Gua bisa ngerti kekhawatiran dia karena dia nggak mau sampai amit-amitnya kepergok sama orang lain melakukan sesuatu yang nggak seharusnya dia lakuin sama Deenan. Gua paham banget . .”
“Gua juga bisa ngerasain kok, Val, kalau Rasya itu trying his hard untuk nggak melibatkan perasaannya disini atas segala perhatian yang Deenan kasih ke dia. Kerasa banget usaha dia untuk meminimalisir kemungkinan memperkeruh masalah ini.” Tambahnya sebelum Vale bisa memberi respon.
Kemudian ia langsung melanjutkan kalimatnya lagi, “Bahkan sebelum tadi lo ceritain kekhawatiran lo tentang kemungkinan Rasya akan jatuh rasa untuk Deenan, gua juga udah pernah wanti-wanti Deenan untuk pikirin kemungkinan ini. Karena kalau sampai kejadian, kasihan di Rasyanya. Apalagi kalau sampai status dia masih sebagai tunangan orang. Jahatnya jadi double, kan? Dia jahat ke Keelan, dan dia jahat juga ke Rasya. Makanya gue desek lagi untuk secepatnya beresin semua urusan dia sama Keelan. Because at this point, gua udah nggak bisa lagi ngeliat adanya kemungkinan Deenan bakal ninggalin anaknya demi Keelan.”
“Dan menurut gua, itu udah sebijak-bijaknya pilihan yang bisa Deenan buat kalau dia memang nggak mau ngulangin kesalahan yang dibuat sama orangtuanya ke dia. Walaupun akan ninggalin bekas trauma di Keelan nantinya, gua yakin Dewi Bulan nggak sejahat itu sama dia. Pasti nanti diganti sama yang berkali-kali lipat lebih baik dari Deenan. Dan pasti juga ada alesannya kenapa Deenan sama Rasya ditimpa masalah segini beratnya sampai Deenan secara nggak langsung harus berkhianat dari Keelan.” Jenar mengutarakan pikirannya yang lain.
“Tapi, balik lagi deh ke dasarnya. Namanya juga hidup. Selama kita jalanin, pasti ada aja susahnya. Tapi ya diantara semua kesusahan itu, nggak mungkin nggak ada bahagianya. Biarpun gua nggak taat-taat amat sama sang Dewi, tapi gua yakin setiap rencana kita di dunia ini, selalu ada campur tangannya. Bukan cuma asal kejadian atau asal nyakitin doang. Either it will be a blessing or a lesson.”
Vale memandang Jenar untuk beberapa saat setelah kalimat itu terlontar dari mulutnya. Ia cerna baik-baik kalimat demi kalimat Jenar yang menurutnya tepat sasaran sekali.
Tapi, Jenar yang pandangannya mengarah ke depan sana tidak menyadari tatapan memandang Vale padanya.
Ia justru melanjutkan apa yang belum sempat terucap, “Kembali ke perihal yang tadi, somehow, gua ngerasa kalau sikap Rasya tuh kayak lagi berusaha buat melepaslibatkan Deenan dari semua ini.” Ungkap Jenar prihatin, “Entah karena itu terdorong rasa panik dia ataupun suasana hati dia yang belakangan lagi nggak stabil, gue juga nggak tau yang mana yang bener. Tapi, Deenan juga kasihan, Val. Dia jadi serba salah juga ke Rasya.”
“Apalagi Rasya juga kayaknya nih tipe yang susah banget buat ngasih kabar, ya?” Tanya Jenar.
Vale mengangguk.
Lagi-lagi satu helaan nafas terdengar menghembus dari si Alpha. “Kedepannya, kalau Rasya susah dihubungin kayak gitu lagi, gua boleh minta tolong ke lu gak, Val?”
“Apa?” Sahut Vale.
“Tolong bantu ringanin rasa khawatirnya Deenan, ya?” Pinta Jenar, “Karena itu anak nggak punya siapa-siapa buat ngelampiasin perasaannya, Val. Mau lari ke bokap nyokapnya juga nggak bisa diharapin dah, udah.”
“Dia cerita ke gua juga kayaknya udah kepaksa banget karena nggak ada lagi yang bisa dia andalin. Sama gua juga seringnya gua tolol-tololin. Ya, seharusnya nggak boleh gua begitu, ya . .” Jenar jadi menyadari kesadisannya selama ini setiap kali mendengarkan curahan isi hati Deenan. Dan ia sedang mencoba menulis di belakang kepalanya untuk tidak sesadis itu lagi kedepannya.
“Deenan tuh tipe orang yang selama dia dikasih kabar dan Rasya juga nggak kenapa-kenapa, dia bakalan anteng, kok. Emang anaknya tuh nggak bisa banget kalau nggak dikabarin, bawaannya khawatiran mulu . . Apalagi ini yang dia khawatirin darah dagingnya sendiri, kan.” Jenar memberi penjelasan dan buru-buru menambahkan setelahnya, “Bukan posesif atau over protective tapi, ya. Lain lagi kalau posesif, mah. As long as dikasih tau Rasya is okay, that’s enough for him because that’s mean the baby is okay, too.”
Tanpa Jenar jelaskan seperti itu pun Vale juga sudah tahu kalau Deenan memang tipe yang begitu. Vale sudah bisa melihatnya dari keseharian Deenan dan Keelan dulu. Dan benar, memang bukan posesif ataupun protektif berlebihan, hanya saja dengan mengetahui kondisi orang yang ia sayangi itu membuatnya merasa jauh lebih tenang dalam menjalani kesehariannya.
“Okay.” Setuju Vale akhirnya.
“Thank you ya, Val.” Ucap Jenar setelahnya, “Thank you udah mau luangin waktu lu untuk duduk disini sama gua untuk ngebagi pandangan lu tentang masalah ini ke gua dan dengerin unek-unek gua. Jujur, sekarang gua jadi lebih lega.”
Vale tersenyum membalas tatapan Jenar padanya, “Sama-sama. Justru gue yang harusnya makasih tau sama lo. Karena inisiatif lo buat ngajak gue ketemu, gue jadi ngerasa kalau gue nggak sendirian nemenin Rasya sama Deenan pusing sama masalah mereka.”
Jenar hanya tertawa pelan.
“Jadi, mulai sekarang judulnya kita berempat versus satu dunia, ya?” Canda Jenar untuk mencairkan suasana kembali setelah obrolan beratnya.
Vale ikut mendengus geli mendengar celotehan Jenar, “Iya juga, ya? Hahahaha.”
“Habis ini, tinggal gimana Deenan aja, nih. Kita harus pastiin apa tindakan dia selanjutnya. Karena kalau Rasya udah jelas, dia mau nunggu sampai kondisinya cukup kuat untuk bicara jujur sama keluarganya. Tapi gua sih tetep berharap, semoga nggak terlalu lama, ya . .” Imbuh Jenar.
“Nanti kita bisa coba bujuk Rasya lagi beberapa minggu ke depan setelah dia masuk trimester kedua. Karena biasanya, begitu masuk trimester kedua itu udah jauh lebih aman. Mungkin kalau Deenan ngebujuknya ditambah elo sama gue, supportnya bisa lebih nyampe ke dia dan lebih ngeyakinin juga buat dia.” Vale mengusulkan idenya.
“That sounds great. I’m looking forward to it.” Setuju Jenar.
Merasa kalau obrolan mereka sudah usai, Jenar pun meminum kembali minuman yang dibuatkan Vale serta mencicipi kue brownies yang disajikan untuknya sebagai tanda menghargai sang tuan rumah yang sudah menjamunya.
“Enak?” Tanya Vale penuh harap.
Jenar mengangguk kuat-kuat, “Enak banget! Sumpah, nggak bohong gua. Masih ada lagi, Val? Biar gua bawa pulang.” Candanya.
Vale tertawa geli atas perkataan Jenar, “Ada. Biar gue bungkusin, ya?”
Mendengar itu Jenar jelas langsung panik, “Kaga, kaga! Kaga usah! Anjrit, bercanda doang gua!” Tolaknya, tidak menyangka dianggap serius oleh Vale.
“Dih, beneran juga nggak papa. Gue serius masih ada kok browniesnya. Lumayan kan entar kalau lo kena macet di jalan pas pulang, buat ganjal perut.” Kata Vale.
Jenar menempelkan kedua telapak tangannya di atas kepala sambil membungkuk ke arah Vale, “Asli! Gua bercanda, Valeeee! Ampuuun, dah. Nggak perlu!”
Vale cekikikan sendiri melihat betapa konyolnya kelakuan Jenar. Memang absurd cowok satu ini.
“Gua langsung balik ya, Val?” Pamit Jenar setelah menenggak habis minumannya.
“Oh, yaudah. Ayo, gue anterin ke depan sekalian gue mau liat Oma.” Ajak Vale.
Kedua mahasiswa yang sama-sama bernaung di bawah departemen teknik itu pun bangkit dari posisi mereka.
Tapi, saat hendak berjalan menuju ruang tengah untuk mencapai pintu depan, mereka berpapasan dengan oma Vale yang baru saja pulang dari jalan-jalan sore bersama susternya.
“Eh, eh, eh . . Mau pada kemana ini?” Seru Oma kepada cucu dan juga teman cucunya tersebut.
Jenar memamerkan senyum kikuknya, “Hehe, Jenar pamit pulang dulu ya, Oma.”
Mendengar itu, Oma pun mengernyitkan dahinya, “Loh, kok pulang?”
Ditanya begitu, Jenar juga jadi ikut bingung.
Lah?
Oma kemudian beralih menatap Vale, “Vale, ajak makan malam dulu teman kamu ini. Kasihan, lho. Main sampai hari sudah hampir gelap begini kok kamu suruh pulang gitu aja?” Tegurnya.
“Ayo, Jenar! Kita malam sama-sama dulu, baru kamu pulang.” Ajak beliau langsung pada Jenar.
Jenar yang merasa sungkan pun buru-buru menolaknya dengan halus, “Aduh, Oma . . Maaf, banget. Tapi kayaknya Jenar langsung pulang aja, ya . .”
“Iya, Oma. Kan rumahnya Jenar jauh dari sini, nanti dia kena macet di jalan. Besok kan masih harus ke kampus . .” Vale mencoba membantu Jenar untuk melarikan diri.
Lalu si Oma malah meraih lengan Jenar mencegahnya untuk bisa kabur, “Udah, ayo. Nggak apa-apa . . Sebentar aja. Cobain masakan buatan Oma!”
Jenar dan Vale saling melempar tatapan mereka. Vale tidak enak hati karena Jenar dipaksa-paksa begitu, sementara Jenar juga tidak sampai hati untuk menolak ajakan makan malam tersebut.
“Y-Yaudah deh, Oma . .” Jenar akhirnya menerima ajakan itu dengan berat hati.
Kemudian ia pun diboyong untuk menuju ke ruang makan.
Sementara Vale mengekor di belakang sambil memerhatikan Omanya yang cepat sekali mengakrabkan diri dengan Jenar.
Diam-diam ingatan Vale memutar kembali suatu kejadian lampau dalam benaknya. Tapi dengan cepat ia pejamkan matanya untuk menghilangkan bayangan tersebut karena dia sudah tidak ingin mengingatnya kembali.
Rasya . . Your situation with Deenan is such a bless and curse at the same time for everyone who involves in it, either directly or inderectly . . But I hope, you are the one who will get the most blessings in the end. Because I know you are the one who will suffer a lot and sacrifice a lot through this journey. Please, hang in there, Sya. Mungkin memang nggak akan sebanding dengan apa yang nanti akan lo korbankan, tapi lo harus tau kalau lo nggak akan pernah sendirian. Masih ada gue, Deenan dan Jenar. Kita yang akan nemenein lo sama-sama. Dewi Bulan . . Vale titip rencana kebahagiaan untuk Rasya, ya? Kalaupun setelah ini Rasya harus jalanin hukumannya atas dosa yang terjadi karena keteledorannya, tolong jangan lupa sisihkan sedikit kebahagiaan untuk sahabat Vale ya, Dewi? Amen.
cc, 181022.